Ngahejah Jangan Sampai Punah

Gemamitra.com

Ngahejah adalah bahasa Sunda dari mengeja. Kata mengeja itu sendiri asal katanya adalah “eja” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti melafalkan (menyebutkan ) huruf-huruf satu demi satu. Ngahejah atau mengeja yang penulis maksud disini adalah cara membaca Al-qur’an dengan cara dieja perhuruf lalu disatukan ketika sudah menjadi kata atau kalimat.

Belajar membaca Al-qur’an dengan cara ini sudah ada sejak lama sekali jauh sebelum penulis lahir. Dan saat ini cara belajar membaca ini sudah langka, bahkan di kampung-kampung pun yang dahulunya ngahejah kini sudah beralih dengan cara belajar yang lebih dibarukan.

Tapi walaupun bisa dikatakan sudah langka, nyatanya masih ada yang memakai cara ini. Di Kampung Leuwiceuri Desa Sukasenang Kecamatan Tanjungjaya Kabupaten Tasikmalaya misalnya, anak-anak masih rutin mengaji setelah Magrib sampai datang waktu Isya dan setelah Subuh. Dari yang baru mulai belajar ngaji, yang sudah mulai lancar membaca dan yang sudah mendekati lancar. Ngahejah ini dikhususkan untuk yang baru mulai belajar membaca Al-qur’an. Menurut Bapak Enjang salah seorang pengajarnya mengatakan bahwa, ngahejah ini adalah satu metode mengajar membaca Al-qur’an yang tidak boleh hilang dan jangan sampai punah.

Dengan ngahejah belajar membaca menjadi lebih bisa dikenang. Sebab ada banyak “penekanan” yang membuat otak jadi lebih kuat merekamnya.
Misalnya kita mau mengeja kata bismillaahirrahmaanirrahiim. Cara ngahejahnya adalah be sin jeer bis (ba syin kasrah bis) mim alif lam lam tasydid jeer mill (mim alif lam lam tasydid kasrah mill) lam jabar laa (Lam fatah laa) ha jeer hi (ha kasrah hi) jadi bismillaahi. Alif lamro tasydid jabar arr (alif lam ra tasdid fatah arr) ro he jabar roh (ra ha fatah rah) mim jabar maa (mim fatah maa) nun jeer ni (nun kasrah ni) jadi arrohmaani. Alif lam ro tasydid jabar ro (alif lam ra tasydid fatah arr) re jabar ro (ra fatah ra) he ya jeer hii (ha karah ya sukun hii) mim jeer mi (mim kasrah mi) jadi arrohiimi. Disatukan jadi bismillaahirrohmaanirrohiim.

Ngahejah jangan sampai punah. Lebih jauhnya, budaya belajar mengaji khususnya membaca Al-quran sedari kecil itu jangan sampai hilang. Melihat perkembangan jaman yang semakin pesat, penulis justru memiliki kekhawatiran yang semakin besar. Di antaranya adalah sudah semakin langkanya anak-anak yang mau belajar membaca Al-qur’an, baik di masjid atau madrasah.

Di kampung-kampung sekarang kecenderungan anak-anak untuk belajar ngahejah semakin sedikit. Lebih memilih gajet dan bermain play station dibandingkan pergi ke masjid untuk mengaji. Ini tentu sangat berpengaruh terhadap karakter anak di masa yang akan datang. Ibarat kata pepatah; belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu dan belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air.

Dalam hal ini peran orangtua sangat penting. Sedalam apa minat anak untuk belajar di masjid tergantung pada seserius apa mereka meminta anaknya pergi ke masjid untuk belajar membaca Al-qur’an. Karena setelah di masjid, bukan hanya belajar membaca Al-qur’an saja yang mereka lakukan, tapi juga belajar disiplin untuk melaksanakan shalat tepat waktu.

Dengan tulisan ini penulis berharap, siapapun kita dapat berperan dalam mewujudkan generasi anak-anak di masa depan menjadi anak yang mampu ngahejah atau mengeja kehidupan supaya mampu menerjemahkan segala persoalan hidup yang pasti akan lebih berat dari saat ini. Salam.***

Oleh: TAUFIQ EL HIDA
Anggota SST (Sanggar Sastra Tasik).

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *