Oleh: Tatang Pahat
Pengamat Kebudayaan
Maju dan mundurnya suatu kebudayaan harus diperjuangkan oleh elit. Sebab eksistensinya butuh regulasi dan payung hukum yang mendukung. Butuh undang-undang yang lebih memproduktifkan dan melindungi. Tak bisa dipungkiri kebijakan-kebijakan tersebut harus di dorong oleh pemerintah, dalam hal ini Walikota melalui dinas terkait.
Pada pertemuan kemarin dengan Komisi IV DPRD Kota Tasikmalaya saat melakukan audensi terkait mempertanyakan Perda Kebudayaan, kelihatannya tidak ada niat baik dari pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan tidak hadirnya dinas terkait dalam hal ini DISPORABUDPAR yang di nahkodai saudara Hadian.
Sepatutnya dinas ini memahami dengan seksama, jika aturan dan perundang undangan budaya di terbitkan, maka kekuatan budaya bisa menjangkau lebih banyak spirit dalam masyarakat karena ditopang oleh kebijakan pemerintah. Jika kebijakan di atas, tidak dipahami secara kafah oleh pemerintah, maka suatu keniscayaan semangat seniman tetap saja menjadi aktivis eksklusif. Intinya harus ada pemahaman menyeluruh diantara seniman dan pemerintah!
Bicara kesenian malah terlalu kecil. sebab kesenian hanya sebuah unsur dari kebudayaan. Maka bila kehidupan kesenian kita mengalami kendala dalam persentuhannya dengan masyarakat berarti rumah besar “Kebudayaan” tidak sehat. Dengan kata lain budaya tidak sehat alias sialan. Jika prilaku berbudaya diperlakukan baik, distabilkan dan disehatkan oleh ibu bapak angkatnya (pemerintah) Disporabudpar, maka otomatis produktivitas atau nilai keseniannya juga akan baik. Karena lahir dari rumah besar yang kuat.
Kalaupun ada politisi atau birokrat yang menyukai kesenian itu bukan kunci tapi kepentingan, justru sebagai gerbang pembuka dan atau pijakan buat keberlangsungan seni dan budaya. Sebab fungsi politisi dan birokrat harus lebih besar pada bagian pembuatan payung hukum dan regulasi. Biasana politisi dan birokrasi hanya sekedar hobi saja. Tapi biasanya dari hobi akan melahirkan pemikiran yang ekspansif.
Dari pertemuan kemarin antara pelaku budaya dengan pemerintah kelihatannya wakil pemerintah yaitu Disporabudpar Kota Tasikmalaya sepertinya tidak ada niat baik, dengan ketidakhadiran dalam pertemuan itu. Inilah yang memjadi soal!
Kadang-kadang lebih celaka kalau Disporabudpar punya pengetahuan terlalu banyak. Terus terang saya ragu kepada orang mengagung agungkan dan menepuk dada seakan perhelatan seni budaya yang ada di Kota Tasikmalaya berkat pemerintah (disporabudpar), tidak menjadi pelajaran tempo hari dengan para pemilik kafe. Jauh panggang dari api ketika berbicara tentang kebudayaan selalu mengagungkan kesucian dewi estetika dan hati nurani, seolah-olah sebagai pengemban kebenaran. Tapi dalam tingkah laku dan pemikirannya suntal sana sentil sini, lebih jahat ketimbang pembunuh tentu itu akibat dari kepintarannya, mungkin!
Jika menunggu kesadaran mungkin akan terlalu lama bahkan mungkin nihil, sebab poros keseimbangan budaya telah diserang dari berbagai kepentingan. Salah satu solusinya dengan jalan mosi keridakpercayaan tehadap pemerintah (Disporabudpar) termasuk kepada politisi politisi yang menjadi wakil masyarakat (budaya) sebagai penguasa teringgi rakyat bisa memaksa mereka menaati formulasi atau kebijakan yang diambil dari kecocokan terhadap karakter masyarakatnya. Namun mencari sosok birokrat dan politisi yang mengerti akan pentingnya Budaya (B) juga bukan main susahnya.***