Oleh: Tatang Pahat
Ada dahulu ada sekarang. Bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang. Karena ada masa silam maka ada masa kini. Bila tak ada masa silam tak akan ada masa kini. Ada tonnggak tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tak ada batang. Bila ada tunggulnya tentu ada catangnya
(Prasasti Geger Hanjuang).
Spirit prasasti Geger Hanjuang, mengandung makna yang sangat dalam, menggambarkan bagaimana sejarah (masa lalu) menjadi tolak ukur untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Menarik jika menggelar sebuah peristiwa budaya di Kota Tasikmlaya yang bertempat di seputaran Objek wisata Situ gede. Kegiatan atau peristiwa tersebut, berkonsep pada kekuatan spirit prasasti geger hanjuang tadi yang/dengan sandaran pada pendekatan antropologi dan sosiologi tentu saja budaya lokal (Local Genius) di dalamnya.
Peristiwa yang di sodorkan merupakan kajian sikap panggung pra-ungkap pelaku, berdasarkan ragam habit dan ragam tradisi secara kolektif maupun individual, di garap ke dalam bahasa perform. Dalam konteks pergelaran, yang bersandar pada kekuatan antropologi dan sosiologi tadi, kata “perform” digunakan untuk mengganti prilaku budaya (di masyarakat) ke dalam bahasa somoitik (simbol) dengan tidak merasa digurui dan menggurui (menghadirkan kolaboratisasi Tubuh dalam hal ini penari, syair lagu, artistik seting panggung dan lain-lain) di ikat dalam sebuah peristiwa budaya dengan tajuk “Apanun itu namanya”.
Peristiwa budaya yang di geser pada rangkaian situasi dan kondisi peristiwa budaya di masyarakat ke dalam realitas ambang (pemanggungan). Dengan kata lain, segala sesuatu yang terkait dari “bahasa ungkap” di dalamnya terdapat Foklor, mitologi bahkan sejarah kemudian mencapai “tata nilai yang tercipta”(konsep garap) hingga berakhir pada “pemaknaan” di atas pentas.
Di sisi lain gelaran ini tidak melupakan kepada situasi kekinian, kapan dan dimana gelaran itu digelar. Berharap gelaran yang tersaji menjadi terasa mengigit dengan perpaduan budaya kekinian dengan budaya “tradisi”. Maka terjadilah seni kontemporer dengan tidak mengesampingkan pada nilai-nilai lokalitas. Adapun kekuatan khasanah tradisi, merupakan benang merah konsep garap, sehingga pergelaran syarat dengan makna.
Disini Pemerintah (Dinas terkat) harus pro-aktif dan mempunyai kesadaran bahwa kolektivitas budaya merupakan jembatan untuk membangun keragaman masyarakat setiap sendi yang ada di masyarakat, kesadaran menerjemahkan kehidupan yang sebenarnya ke dalam sebuah bentuk bangunan Estetika, tentu saja berbeda dengan kehidupan sebenarnya. Sementara realitas sebagai bahan baku tadi, merupakan energi pada ide gagasan untuk penampilanya.
Penyatuan misterius berbagai kesan pada realitas, termasuk juga, sesuatu yang bersifat habit, metafisik, foklor tadi, bukanlah milik karya seni semata. Bagaimanapun peristiwa budaya mengacu pada kenyataan sebenarnya berdasarkan tanggapan inderawi. Hal itu dikarenakan budaya suatu yang riil dan berkembang di masyarakat, dan pergelaran dengan tajuk “apapun tadi” mencoba menjawab dengan keluesan estetika. Semata-mata mencoba menangkap energi positf persoalan budaya yang berkembang di masyarakat.
Perlu adanya kesadaran bersama ketika memaknai budaya dan kebudayaan, semestinya dikembali pada khitohnya, dimana budaya dan kebudayaan terlahir dari masyarakat, artinya budaya pada hakekatnya sudah mempunyai makomnya. Menyikapi persoalan ini, kirannya event yang digelar merupakan gerbang pembuka kekayaan budaya Tasikmalaya yang selama ini stagnan. Dan event di Situ Gede sebagai kunci pembukanya.
Di satu sisi Situ Gede punya daya magis selain tempat objek wisata, Situ gede merupakan tempat bersejarah satu dari sekian banyak tempat yang mempunyai kearipan tersendiri sehingga terbentuknya Taskmalaya ada seperti sekarang ini.
Sudah barang tentu sebuah keniscayaan peran Disbudparpora sebagai wakil pemerintah harus menjadi menjadi mesin penggerak. Sebab hakekatnya pemerintah merupakan perpanjangan tangan atau informan tentang perkembangan budaya di masyarakaya.
DISBUPARPORA harus menjadi Bapak angkat untuk kelompok-kelompok budaya (seni) yang berkembang di masyarakatnya bukanya jadi.pesaing. Simpulan sementara, bahwa macetnya nilai komunikasi terletak pada persoalan budaya keterbukaan, sementara munculnya ketidakterbukaan akibat pemahaman makna budaya sebatas bisnis semata tidak menyentuh kepada “nilai”.
Disini letaknya soal!
Padahal pengertian dasar berbudaya adalah sebuah proses memanusiakan manusia. Dalam arti luas, budaya memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, dan tentang dunia dimana mereka hidup. Cara pandang inilah pada saat sekarang mulai tergadai dan tergerus dengan kepentingan pribadi dan golongan lebih tepatnya kepentingan balas budi. Sehingga kehilangan makna komunikasi seutuhnya.
Mendidik, memahami, Mengajak bersikap kritis, inovatif dan kreatif menjadi mati suri. Pola berpikir dan pola tindak sistematik, berpikir global tentang nilai-nilai kebudayan dan membangun sinergitas serta pendekatan untuk menyelamatkan kebudayaan terkebiri kepentingan politis.
Masyarakat budaya “mungkin” berharap banyak kepada pemerintah. Tentu menjadi.keharusan, pemerintah menjadi keharusan mengajak kepada semua element yang ada di masyarakat tidak terkecuali politisi, OKP, LSM, komunitas tidak terkecuali, broker (calo) sekalipun bergandeng tangan membangun budaya, karena terbukti majunya suatu bangsa atau wilayah bisa di lihat dari perkembangan budayannya. Sehingga ruang dialogis ini menggiring untuk menumbuhkan rasa saling memiliki.
Maka jelas yang bertanggung jawab keberlangsungan budaya bukanlah masyarakat budaya semata tapi “Kita”. jika ada kekeliruan akan terjadi split reverence (acuan terbelah). Hasil yang muncul akan berakibat bergesernya budaya (tata nilai) bukan pengkristalan budaya. Semoga cacatan kecil ini menjadi acuan untuk bahan renungan “Kita”, dan menjadi stimulus untuk duduk bersama membicarakan tentang hakikat budaya secara kaffah! *** Cagg.