Keberpihakan Regulasi dan Anggaran untuk Guru Ngaji
Bagian 1
Harapan besar tengah menggantung di langit Kota Tasikmalaya. Terpilihnya Viman Alfarizi sebagai Wali Kota periode 2025–2030 menjadi momentum istimewa bagi masyarakat. Sosok muda yang visioner, inspiratif, dan berasal dari latar belakang ekonomi yang mapan, membuat masyarakat optimis bahwa kursi Wali Kota kali ini bukan dijadikan alat untuk memperkaya diri, melainkan benar-benar sebagai jalan untuk mengabdi kepada umat.
Lebih menarik lagi, dukungan politik terhadap Viman datang bukan hanya dari rakyat, tetapi juga dari parlemen. Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, H. Aslim, berasal dari partai politik yang sama, yaitu Gerindra. Kombinasi ini menciptakan kekuatan politik yang nyaris tanpa hambatan: eksekutif dan legislatif satu barisan. Dalam catatan sejarah demokrasi Kota Tasik sejak berdiri tahun 2001, momen seperti ini adalah kali pertama terjadi. Maka tak berlebihan jika masyarakat menaruh harapan besar, bahwa sinergi politik ini akan menjadi jalan lahirnya kebijakan-kebijakan yang berpihak pada umat dan masyarakat kecil.
Salah satu isu penting yang kini menunggu perhatian serius adalah nasib guru ngaji.
Guru ngaji bukan sekadar profesi. Mereka adalah pilar utama dalam membangun karakter anak bangsa. Mereka yang mengajarkan Al-Qur’an, akhlak, adab, dan nilai-nilai keislaman kepada generasi muda, baik di majelis taklim, TAAM, TKA, TPA, TQA, RA, pondok pesantren, maupun madrasah diniyah. Dalam istilah lain, mereka adalah jantung spiritual dari Kota Santri ini.
Namun sangat disayangkan, hingga hari ini, kesejahteraan guru ngaji masih jauh dari kata layak. Sejak tahun 2014, insentif yang mereka terima tidak pernah mengalami kenaikan. Nominalnya tetap Rp50.000 per bulan, dan hanya diberikan setahun sekali saat Ramadan. Totalnya? Hanya Rp600.000 setahun. Bahkan pada tahun 2025 ini, yang baru cair hanyalah Rp200.000 menjelang Idulfitri. Ironis. Apalagi jika mengingat betapa rumit dan panjangnya proses pencairan, mulai dari pengajuan proposal, tanda tangan berlapis, hingga laporan pertanggungjawaban yang menyita waktu dan tenaga.
Padahal, mereka tetap istiqamah. Tetap mengajar tanpa pamrih, dengan ketulusan dan keikhlasan. Tidak peduli apakah pemerintah peduli atau tidak. Karena bagi mereka, mendidik anak-anak adalah panggilan jiwa, tugas ilahiyah, bukan sekadar tanggung jawab negara. Namun, apakah pemerintah—dalam hal ini Wali Kota dan Ketua DPRD—akan terus membiarkan ketulusan mereka tanpa penghargaan yang layak?
Jangan lupakan bahwa Kota Tasikmalaya dijuluki sebagai Kota Santri. Maka sudah selayaknya para guru ngaji mendapat perhatian khusus. Mereka adalah garda terdepan dalam membentengi generasi dari krisis moral dan spiritual. Di tengah derasnya arus globalisasi, krisis identitas, kenakalan remaja, geng motor, kriminalitas, hingga meningkatnya angka kemiskinan—guru ngaji hadir sebagai harapan terakhir.
Kini saatnya pemimpin Kota Tasikmalaya menunjukkan keberpihakan.
Bukan sekadar slogan religius, tapi keberpihakan nyata.
Pertama, lewat regulasi. Sudah saatnya dibuat kebijakan daerah yang melindungi dan menguatkan peran guru ngaji, mulai dari pendataan, pelatihan, hingga sistem insentif yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Kedua, lewat penganggaran (budgeting). Ini bukan soal besar kecilnya nominal, tapi soal niat dan komitmen. Bila jalan dibangun dengan anggaran miliaran rupiah, mengapa tidak bisa dialokasikan dana lebih layak untuk para penjaga moral anak-anak kita?
Momentum ini tidak akan datang dua kali. Wali Kota dan Ketua DPRD bersama 45 anggota DPRD Kota Tasikmalaya harus berani ambil sikap. Jangan sampai sejarah mencatat bahwa ketika kekuasaan eksekutif dan legislatif ada dalam satu barisan, tidak ada satu pun terobosan berarti yang berpihak pada guru ngaji.***
Sekaranglah saatnya. Bukan esok. Bukan nanti.
#BERANI BERGERAK
Penulis: U. Heryanto (UHE), (Mahasiswa Pascasarjana Hukum Perdata – UNIGAL).
Mantan Ketua Umum DPD BKPRMI Kota Tasikmalaya