Bumerang Media Sosial

Penulis: Yudi Damanhuri (Guru SMA Pesantren Unggul Al Bayan Anyer)

Beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjelma menjadi arena utama interaksi manusia modern. Facebook, Instagram, Twitter (kini X), TikTok, hingga YouTube bukan lagi sekadar aplikasi hiburan, melainkan ruang publik baru tempat politik, ekonomi, budaya, bahkan identitas pribadi dipertaruhkan. Fenomena ini melahirkan paradoks: di satu sisi membuka peluang komunikasi dan informasi tanpa batas, tetapi di sisi lain menghadirkan tantangan serius berupa kecanduan digital, disinformasi, polarisasi, hingga krisis kesehatan mental.

Bacaan Lainnya

Remaja menjadi kelompok paling rentan menghadapi gempuran konten media sosial. Mereka yang masih mencari jati diri dengan mudah terbawa arus algoritma yang menyajikan informasi tanpa filter. Tidak jarang, informasi itu berisi konten negatif, hoak, ujaran kebencian, bahkan glorifikasi kekerasan. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang ekspresi dan inovasi, seringberubah menjadi bumerang: senjata yang kembalimenghantam penggunanya sendiri.

Tulisan ini mencoba mengurai berbagai sisi media sosial—dari peluang, risiko, hingga strategi mitigasi. Dengan menelaah data, studi kasus, serta teori dari psikologi, cultural studies, dan ekonomi digital, kita akan melihat bagaimana media sosial membentuk masyarakat sekaligusmenantangnya.

Data dan Fakta Global & Indonesia

Untuk memahami dampak media sosial, kita perlu melihat data terkini. Laporan We Are Social dan Kepios (2024) mencatat pengguna media sosial global mencapai 5,04 miliar orang—sekitar 62% populasi dunia. Di Indonesia sendiri, pengguna aktif media sosial mencapai 167 juta orang, atau lebih dari 60% total penduduk. Angka ini terus meningkat setiap tahun.

Lebih menarik lagi, durasi penggunaan di Indonesia termasuk tertinggi di dunia. Rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di media sosial, lebih lama dibandingkan rata-rata global yang sekitar 2 jam 23 menit. Artinya, hampir seperdelapan waktu manusia modern dihabiskan untuk menatap layar dan berinteraksi di dunia maya.

Namun, intensitas ini membawa konsekuensi. Survei UNICEF (2022) menunjukkan 45% remaja Indonesia merasa media sosial berdampak negatif terhadap kesehatan mental mereka. Sebagian besar mengaku merasa cemas, tertekan, dan tidak percaya diri setelah melihat unggahan orang lain.

Di sisi lain, media sosial menjadi tulang punggung ekonomi digital. Laporan BPS (2023) menyebutkan sekitar 26% UMKM di Indonesia sudah memanfaatkan media sosial untuk pemasaran. TikTok Shop (sebelum sempat ditutup sementara) bahkan menyumbang miliaran transaksi per bulan. Dengan kata lain, media sosial adalah pedang bermata dua: memberi peluang ekonomi sekaligus memicu ketergantungan.

Psikologi dan Remaja: Cermin yang Menyayat Diri

Dari perspektif psikologi sosial, media sosial menjadi ruang perbandingan sosial (social comparison). Teori Leon Festinger (1954) menjelaskan bahwa manusia cenderung menilai dirinya dengan membandingkan kehidupan orang lain. Di era Instagram dan TikTok, perbandingan itu berlangsung brutal. Gambar tubuh ideal, gaya hidup mewah, perjalanan liburan, hingga pencapaian akademis orang lain tampil seolah sempurna.

Akibatnya, banyak remaja terjebak pada rasa rendah diri. Studi yang diterbitkan Journal of Social and Clinical Psychology (2019) menemukan bahwa penggunaan media sosial lebih dari 3 jam per hari berkorelasi dengan meningkatnya depresi dan kecemasan pada remaja. Mereka merasa hidupnya “kurang” dibandingkan kehidupan orang lain yang ditampilkan secara kurasi di dunia maya.

Selain itu, algoritma media sosial bekerja dengan logika dopamin loop. Setiap notifikasi, like, atau komentar memberi sensasi kepuasan sesaat. Lama-kelamaan, otak terbiasa mencari stimulus itu, seperti halnya kecanduan rokok atau narkoba ringan. Tidak heran jika sebagian remaja panik ketika unggahannya sepi interaksi, atau merasa hampa bila sehari saja tidak membuka aplikasi.

Fenomena ini menimbulkan dampak serius: dari menurunnya produktivitas belajar hingga munculnya perilaku menyakiti diri. WHO bahkan menyebut kecanduan internet sebagai salah satu bentuk gangguan perilaku yang perlu diwaspadai.

Disinformasi dan Politik: Dari Arab Spring ke Polarisasi Indonesia

Salah satu wajah paling berbahaya dari media sosial adalah penyebaran hoaks. Kasus Arab Spring 2011 menunjukkan bagaimana Facebook dan Twitter bisa menjadi alat mobilisasi politik. Di Tunisia dan Mesir, media sosial digunakan untuk mengorganisasi protes besar-besaran melawan rezim otoriter.

Namun, kekuatan yang sama juga digunakan untuk tujuan sebaliknya. Dalam Pemilu AS 2016, media sosial dimanfaatkan untuk menyebarkan disinformasi. Studi MIT (2018) menunjukkan bahwa berita palsu 70% lebih cepat menyebar dibandingkan berita benar di Twitter. Opini publik pun terpolarisasi, sebagian terjebak pada narasipropaganda digital.

Di Indonesia, problem serupa muncul. Menurut data Kementerian Kominfo, lebih dari 800 ribu konten hoaks ditangani sepanjang 2020–2023. Isu paling dominan adalah politik, kesehatan (terutama soal vaksin COVID-19), dan SARA. Tidak jarang, hoaks memicu konflik nyata di lapangan, mulai dari keributan antarpendukung politik hingga kekerasan berbasis identitas.

Hal ini memperlihatkan bahwa media sosial bukan sekadar ruang komunikasi, melainkan medan pertempuran narasi politik. Polarisasi, ujaran kebencian, dan echo chamber membuat masyarakat semakin terbelah.

Ekonomi Digital dan Kapitalisme Pengawasan

Media sosial bukan hanya soal interaksi, tetapi juga industri besar. Shoshana Zuboff (2019) dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism menjelaskan konsep kapitalisme pengawasan: data pengguna dikumpulkan, dianalisis, lalu dijual untuk kepentingan iklan.

Setiap klik, pencarian, atau durasi menonton video meninggalkan jejak digital. Algoritma menggunakannya untuk memprediksi perilaku kita, bahkan mendorong keputusan membeli. Inilah mengapa iklan di media sosial terasa sangat personal: seakan tahu persis kebutuhan kita sebelum kita menyadarinya.

Bagi pelaku bisnis, ini peluang besar. UMKM bisa menjangkau pasar luas tanpa biaya besar. Namun, bagi pengguna, ini ancaman privasi. Kasus bocornya data Facebook–Cambridge Analytica (2018) memperlihatkan betapa data pribadi bisa disalahgunakan untuk manipulasi politik maupun komersial.

Kultur, Identitas, dan Masyarakat

Dari perspektif cultural studies (Stuart Hall, Chris Barker), media sosial adalah arena produksi makna. Identitas tidak lagi sesuatu yang tetap, melainkan dikonstruksi melaluirepresentasi digital.

Fenomena selfie culture, filter wajah, dan viral challenge menunjukkan bagaimana anak muda membentuk citra dirinya melalui algoritma visual. Identitas daring seringkali berbeda dari identitas nyata. Seorang remaja yang pendiam di dunia nyata bisa tampil flamboyan di TikTok, atau seseorang yang tertekan bisa memamerkan kebahagiaan palsu di Instagram.

Di sisi lain, media sosial mempercepat globalisasi budaya. Musik K-pop, misalnya, mendominasi YouTube dan TikTok, membentuk selera anak muda di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial tidak netral: ia mengarahkan arus budaya dan bisa memperkuat hegemoni tertentu.

Studi Kasus: Dari Kairo ke Jakarta

Arab Spring (2011) – media sosial menjadi katalis revolusi, membuktikan kekuatannya sebagai alat perubahan politik.

Pemilu AS (2016) – disinformasi sistematis lewat Facebook & Twitter memengaruhi demokrasi negara adidaya.

Myanmar (2017) – Facebook digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya, yang berujung pada kekerasan massal.

Indonesia (2019–2024) – media sosial penuh dengan hoaks politik, polarisasi, dan buzzer bayaran.

Studi kasus ini menegaskan bahwa media sosial bisa menjadi mesin demokratisasi maupun alat represi. Semua tergantung siapa yang mengendalikannya.

Solusi, Etika, dan Regulasi

Untuk menghindari dampak boomerang media sosial,beberapa langkah perlu dilakukan:

Pertama, Literasi digital sejak dini di sekolah, agar remajamampu memilah informasi. Kedua, regulasi perlindungandata pribadi yang tegas, seperti yang sedang dirintis melalui UU PDP di Indonesia. Ketiga, etika algoritma – perusahaanteknologi harus transparan soal bagaimana data digunakan.Keempat, peran orangtua – mengawasi dan mendampingi anak dalam menggunakan gawai. Kelima, yaitu kesadaranindividu – pengguna harus mampu mengatur waktu, mengendalikan emosi, dan menahan diri dari perilaku reaktif.

Belajar Mengendalikan Bumerang

Media sosial adalah boomerang, jika digunakan bijak, ia bisa menjadi alat pertahanan diri dan pengembangan peradaban; tetapi jika dilepaskan tanpa kendali, ia akan kembali melukai penggunanya.

Di era digital ini, kita tidak mungkin kembali ke masa sebelum internet. Selain ikhtiar, yang bisa kita lakukanadalah membekali diri dengan literasi, kesadaran, dan regulasi. Sebab, yang menentukan apakah media sosial menjadi berkah atau musibah bukanlah algoritma semata, melainkan bagaimana kita—manusia—menggunakannya.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *