Doni M Noor: Di Balik Kartini dan Dewi Sartika, Ada Lelaki yang Mendukung Sepenuh Hati

Tasikmalaya – Gemamitra.com | Menjelang peringatan Hari Kartini, pengamat pendidikan Doni M Noor menekankan pentingnya dukungan lintas gender dalam membangun dunia pendidikan, khususnya dalam konteks perjuangan perempuan. Menurutnya, di balik sosok hebat seperti R.A. Kartini dan Dewi Sartika, terdapat figur laki-laki yang memberikan dukungan penuh dan memainkan peran penting dalam keberhasilan mereka.

Dalam wawancara khusus, Doni M Noor yang juga pemerhati sejarah pendidikan Indonesia, menyoroti bahwa pencapaian luar biasa Kartini dan Dewi Sartika bukan hanya buah dari kegigihan pribadi, tetapi juga karena adanya dukungan dari tokoh laki-laki di sekitar mereka.

Bacaan Lainnya

“Kalau menurut saya, baik R.A. Kartini maupun Dewi Sartika bisa mendirikan sekolah karena ada dukungan penuh dari sosok lelaki di belakangnya,” ujar Doni, ditemui di Saung Bongsai miliknya, Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya, Senin 21 April 2025.

Ia menjelaskan, Kartini berhasil mendirikan Sekolah Putri di Rembang berkat dukungan suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat, yang saat itu menjabat sebagai Bupati Rembang. Bangunan sekolah tersebut kini bahkan menjadi gedung Pramuka.

Hal serupa juga terjadi pada Dewi Sartika. Ia mampu mendirikan Sekolah Isteri karena dukungan kuat dari kakeknya, Raden Adipati Aria Martanegara, Bupati Bandung saat itu, serta bantuan dari Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran.

“Artinya, semandiri apa pun perempuan, tetap membutuhkan dukungan. Begitu pula sebaliknya—laki-laki tidak akan berhasil menjadi pejuang sejati tanpa dorongan dari sosok perempuan di belakangnya,” lanjut Doni. Ia mencontohkan bagaimana Soekarno mendapat kekuatan besar dari Inggit Garnasih.

Namun demikian, Doni menegaskan bahwa yang terpenting bukan sekadar adanya dukungan, melainkan siapa yang memberikan dukungan dan bagaimana dukungan itu dimanfaatkan.

“Yang patut kita teladani dari masa lalu adalah keterlibatan langsung para pejabat dalam memberi ruang dan mendukung gagasan-gagasan visioner, bahkan jika datang dari anggota keluarganya sendiri. Ini bukan nepotisme, tapi bentuk konkret dari penghormatan terhadap hak hidup, hak belajar, dan hak memajukan bangsa,” jelasnya.

Lebih lanjut, Doni mengingatkan bahwa Indonesia memiliki banyak tokoh perempuan lain yang berjasa dalam bidang pendidikan dan kesetaraan, seperti Lasminingrat dari Garut, sebagai pendiri Sekolah Keutamaan Isteri. Lasminingrat menikah dengan Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII, yang merupakan Bupati Garut.

Namun sayang Lasmingirat tak tercatat atau mungkin belum terverifikasi sebagai pahlawan nasional. Bakatnya semakin berkembang dari mulai mengajar menulis, membaca dan penterjemah sampai mendirikan sekolah tersebut berkat adanya dukungan dari suaminya yang menjabat sebagai Bupati kala itu.

Kemudian Rohana Kudus, Maria Walanda Maramis, H.R. Rasuna Said, hingga Nyai Ahmad Dahlan.

“Namun, bukan soal siapa yang dijadikan simbol. Kartini dikenang bukan hanya karena identitasnya, tetapi karena gagasan-gagasannya yang melampaui zaman. Itulah yang membuatnya istimewa sebagai pionir kebangkitan perempuan Indonesia,” tegas Doni.

Di akhir wawancara, ia mengajak semua pihak untuk merenung:

“Dalam napas kemerdekaan ini, akankah kita mampu melahirkan Kartini-Kartini baru, dengan gagasan-gagasan visioner yang mampu menjawab tantangan zaman sekarang?”

Selain itu, Doni juga menyoroti peran strategis perempuan, khususnya sebagai ibu dalam keluarga. Ia mengingatkan bahwa peran istri atau ibu tidak hanya berkutat pada urusan domestik, tetapi juga harus hadir dalam ruang-ruang sunyi anak.

“Jangan merasa aman hanya karena anak berada di dalam rumah dan berdiam di kamar. Kamar bisa jadi ruang paling sunyi, tapi sekaligus paling bising karena akses tanpa batas dari dunia digital,” ungkapnya.

Menurut Doni, melalui gawai, anak-anak bisa terpapar berbagai konten yang berbahaya—dari komentar kejam, konten kelam, hingga figur panutan yang menyesatkan. Paparan ini sangat mudah menyusup, bahkan bisa membentuk pola pikir dan perilaku yang tidak disadari oleh orang tua.

“Kita sebagai orang dewasa saja belum tentu mampu memahami semua dinamika dunia digital dengan baik. Maka, jangan biarkan anak-anak berjalan sendirian di dalamnya,” pungkasnya. (Pakesit)***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *