Doni M Noor: Sutsen Bukan Sekadar Cendekiawan, Ia Seorang Negarawan

Tasikmalaya – Gemamitra.com | Dorongan agar Raden Sutisna Sendjaja diangkat sebagai pahlawan nasional terus bergulir, tak hanya dari kalangan akademisi dan Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga dari para budayawan dan sastrawan. Sosok yang akrab disapa Sutsen ini dikenal tak hanya sebagai tokoh NU, tetapi juga sebagai intelektual, jurnalis, guru, dan negarawan dengan semangat kebangsaan yang tinggi.

Irfal Mujaffar, dosen sejarah Universitas Siliwangi, menyebut Sutsen sebagai tokoh penggerak dalam peradaban Sunda dan Indonesia. “Ia bukan hanya menulis, tetapi menggerakkan. Lewat media seperti Sipatahoenan dan Al-Mawa’idz, ia menyalakan kesadaran masyarakat atas pentingnya merdeka dari segala bentuk penindasan,” katanya.

Bacaan Lainnya

Lahir di Wanaraja, Garut, 27 Oktober 1890, Sutsen aktif sebagai guru di berbagai HIS, wartawan, dan pengurus NU. Tahun 1948, ia menjadi Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat. Ia juga sempat menjadi anggota Chuo Sangi In pada masa Jepang dan KNIP di masa revolusi fisik.

Dalam lintasan sejarah, Sutsen dikenal berani mengkritik struktur kolonial tanpa kehilangan kecermatan politik. Bersama KH Ruhiat, ia memisahkan urusan kekuasaan asing sebagai ranah siyasi (politik), sementara urusan agama diserahkan sepenuhnya kepada ulama—pandangan yang menunjukkan pemikiran progresif dan independen di zamannya.

Doni M Noor, Sastrawan Tasikmalaya.
Doni M Noor, Sastrawan Tasikmalaya.

Pandangan menarik juga disampaikan oleh Doni M Noor, sastrawan Tasikmalaya, yang menganggap bahwa Sutsen adalah figur yang langka. “Kenapa harus Sutsen? Bagi saya sederhana sekali di zaman sekarang, sosok multitalenta seperti beliau nyaris tak ada. Kini, orang yang berbakat banyak cenderung hanya menonjol di seni. Bukan berarti seni tidak penting—hidup tanpa seni, seperti sayur tanpa garam—hambar,” ujarnya.

Namun, menurut Doni, Sutsen bukan hanya cendekiawan. “Ia negarawan. Bayangkan, di masanya, ia mampu merancang strategi perlawanan dan menggalang dukungan dari masyarakat lokal. Itu tak akan mungkin terjadi tanpa cinta yang tulus terhadap tanah air,” ungkapnya. Ia menambahkan, “Banyak cendekia yang mengkhianati bangsanya, tapi apakah itu pernah terjadi pada Sutsen? Sejarah bisa direvisi, tapi arsip otentik tak bisa dikebiri. Karena nurani itu titipan Tuhan, dan ia bisa membaca bahkan dalam gelap.”

Bagi Doni, keberanian dan integritas Sutsen adalah pengejawantahan dari perintah Ilahi yang pertama kali diturunkan: Iqra’—bacalah. “Dan Sutsen membaca zamannya dengan jernih, lalu menulis dan bertindak. Maka bagi kita, menghormati Sutsen bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi meneladani akhlaknya dalam membangun bangsa,” tutupnya.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *