Oleh: Arif Fathur
Pertunjukan bertajuk “Wawancara dengan Mulyono” karya dan sutradara Dr. Rachman Sabur (Babeh), merupakan salah satu pendiri dari Kelompok Payung Hitam (TPH), 43 tahun yang lalu. Sebelumnya, tepatnya di bulan Februari 2025, pementasan ini gagal dipentaskan dengan ragam alasan tertentu. Kali ini TPH berhasil mementaskannya di Gedung Tempo pada hari Kamis, 17 April tahun 2025, pukul 14.00 WIB, dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube media tersebut.
Dalam kanal YouTube Media Tempo, pementasan tersebut terputar sebanyak 91.301 tayangan dengan 5,3 ribu penyuka. Peristiwa tersebut menjadi fenomena di bulan dan tahun ini, “Ada apa dengan Mulyono?” Sehingga menarik untuk ditelusuri dari segi artistiknya. Hal ini tentu saja memerlukan sumber yang jernih untuk mengupasnya.
Ditemui di kediamannya pada 19 April 2025, Doni M. Noor, selaku kritikus sekaligus praktisi Teater dan Film Indie di Kota Tasikmalaya memberikan pernyataan perihal pementasan tersebut: “Pementasan ini merupakan momok wacana yang mana semua orang sudah mengetahuinya dalam ranah isu besar, terutama para kaum peselancar media sosial. Babeh hanya mengemasnya dengan sedikit balutan saja. Namun dengan sedikit itulah, ia mampu melahirkan hal-hal yang tak terduga serta luar biasa, sehingga menjadi besar dalam segi artistik!” Paparnya.
“Harus diakui bahwa realitas panggung tidak bisa dipisahkan dari yang bernama konvensi, yang mana konvensi itu pecah di masyarakat, menjadi ruang-ruang pribadi dalam ranah katarsisnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Babeh dalam proses kreatifnya tersebut, sehingga karya yang dilahirkannya tersebut begitu banyak melahirkan napas artistik dalam balutan estetika seni, ketika konvensi itu dipentaskan di atas panggung pertunjukan. Dalam karyanya tersebut, kita bisa begitu baik melihatnya dalam ragam aspek, seperti kaya dengan simbol, metafora bahkan paradoks” Lanjutnya.
Satu sisi yang menarik dari pernyataannya tersebut mengingatkan pada makna proses kreatif dalam kerja kolektif, dimana proses penciptaan teater itu merupakan sebuah perjalanan jiwa, yang mana terletak padada kunci kata, gerak dan emosi yang bertemu; bukan hanya sekadar asal pentas melainkan ziarah batin yang menyatukan rasa, serta menghidupkan makna dalam setiap detik. Menurutnya, benang merah pertunjukan itu ada pada sosok perempuan pencuci yang diperankan oleh aktor Renny Handayani.
Peran perempuan tersebut yang hadir dari awal pertunjukan sampai akhir pertunjukkan dengan tidak terputusnya berperan ,merupakan elemen inti dengan metafora terkuat tentang ingatan kolektif, sejarah yang tak bisa dihapus, dan peran ibu—baik sebagai simbol ibu rumah tangga, ibu bangsa, hingga Ibu Pertiwi: “Makna mencuci, secara tasawuf itu berurusan dengan hati yang saban detik harus bisa membersihkannya sampai maut menjemput, salah satunya dengan dawam istighfar. Ibu itu selalu mencuci nama baik keluarga meski pun ada anggota keluarganya yang miring. Regenerasi bangsa selalu menemukan jejak sejarah hasil dicuci, artinya tak utuh melihat noda sejarahnya. Jika disimbolkan pada Ibu Pertiwi sebagai mother earth yang selalu menampung limbah untuk dibersihkan demi keberlangsungan zaman.”
Doni menambahkan jika menelaah lebih jauh maka kehadiran simbol perempuan tersebut tak ubahnya dari filosofi mencuci baju: “Bagaimana caranya jiwa dan raga yang lecek dan butek itu harus dicuci. Maka baju yang kotor dan bau harus direndam air berlama-lama dengan ditaburi serbuk detergen. Jadi ibaratnya jiwa dalam raga itu harus direndam air juga. Setelah itu dikucek dan dibanting-banting di alas cuci. Setelah itu akan diperas sekuat mungkin oleh Maha Pencuci. Lanjutannya harus dijemur di terik matahari. Setelah kering kaku maka harus disetrika panas-panas dan barulah jiwa dalam raga tersebut kembali bersih suci lantas siap dilipat dimasukkan ke dalam almari surga!” tandasnya menjelaskan makna kehadiran perempuan tersebut sebagai laku hidup yang sufistik.
Ada pun kehadiran tokoh Mulyono yang diperankan oleh Dede Dablo dan Tokoh Wartawan Amatir yang diperankan langsung oleh Babeh, menurutnya hal tersebut merupakan sebuah penanda saja; jangan sampai melupakan sejarah, disamping itu sebagai jembatan saja dari salah satu kasus yang kini marak dibicarakan di ini negeri dan dunia. Sebenarnya yang ingin dibicarakan lebih jauh oleh Babeh itu bertitik tolak pada perenungan sublim yang mana bertumpu pada segenap segmen pertunjukannya tersebut merupakan sebuah narasi yang menyatukan absurditas di panggung realita,yang padukan dengan kritik sosial, dan keindahan artistik.
Doni menanggapi bahwa pementasan teater dari KPH tersebut dinilai berhasil mempertahankan roh sandiwara, yaitu imitasi kenyataan, tanpa terjebak dalam verbalitas belaka. Tokoh perempuan yang terus mencuci menjadi benang merah dari seluruh segmen pertunjukan: “Seperti itulah fungsi dramawan dalam panggung realita, sebagaimana puisi pendeknya Babeh yang berjudul Sajak 1/2 Tiang yang ditulis pada taun 1998: Bendera hitam / setengah tiang / berkibar di mana-mana. // Kita semua menundukkan kepala. // Dengan tangan terkepal / kita masih tetap ada. // Semoga Indonesia juga / masih tetap ada//” tandasnya menutup percakapan.***