Swafoto Bareng Famous: Menjaga Lingkungan Kelas Tetap Menyenangkan Saat PAS

Gemamitra.com

Oleh: ibud

Selasa, 7/12/2019 merupakan hari kedua dilaksanakannya Penilaian Akhir Semester (PAS) di Kota Tasikmalaya untuk jenjang SD. Tepatnya PAS ini dilaksanakan mulai tanggal 2-6 Desember 2019.

Salah satu tujuan dilaksanakan PAS sendiri tiada lain untuk menentukan hasil capaian belajar peserta didik.

Hasil capaian belajar peserta didik tentunya tidak hanya mengukur aspek pengetahuan (kognitif) saja, tetapi semua aspek. Mulai dari aspek spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan.

Namun nyatanya yang terjadi dimasyarakat atau orang tua siswa, masih banyak yang berpandangan bahwa ketika anaknya memperoleh nilai yang bagus/besar, maka menyandang pangkat dengan predikat pintar atau cerdas. Seolah menjadi Kebanggaan tersendiri untuk orang tua. Anggapannya masa depan anak bagai bulan purnama menerangi malam yang gelap gulita sehingga kelak dunia ada di dalam genggaman anaknya.

Alt

Sebaliknya, orang tua tidak mengenal siang dan malam, yang mereka tahu hanyalah kegelapan yang menyelimuti suasana hatinya manakala anaknya sudah dikasih pangkat dengan predikat negatif dikarenakan memperoleh nilai jelek, tidak bisa apa-apa, kurang pintar, dan lain sebagainya.

Sehingga tidak jarang anak yang dipaksa belajar habis-habisan oleh orang tuanya hanya sekedar mengejar pangkat dengan predikat pintar atau cerdas hanya dari sisi kognitif saja. Alhasil adalah belajar hanya sebatas memenuhi tuntutan bukan kebutuhan hidup. Jika hal ini terjadi maka capaian hasil belajarnyapun tidak akan maksimal termasuk psikologis anaknya akan terbebani dan lambat laun semakin mengganggu tumbuh kembang dan daya fikir anak.

Kita ketahui bahwa definisi kecerdasan terus berkembang dengan pesatnya. pertama tahun 1905, ada Alfred Binet dengan tes IQ-nya. Hasilnya kecerdasan dimaknai dengan angka mental atau nilai IQ seseorang. Kedua pada tahun 1983, Howard Gardner memunculkan teori Multiple intellegences (kecerdasan majemuk) yang bisa dikatakan mengabaikan angka. Ketiga pada 1995, ada Dr. Daniel Goleman memunculkan teori kecerdasan Emotional quotient atau EQ dan Paul G. Stoltz, Ph.D dengan teori Adversity quotient. Keduanya ini sama telah mengabaikan angka untuk mengukur kecerdasan seseorang. Keempat pada 2001, ada Ian Marshall dan Danah Zohar dengan teori Spiritual intellegence (kecerdasan spiritual).

Jika penulis kaitkan dengan yang tadi disampaikan bahwa memandang dan mengukur anak hanya dengan menyematkan pangkat dengan predikat pintar, cerdas, atau kurang pintar yang hanya diambil dari sudut pandang nilai/angka sungguh sangat konyol dan kurang manusiawi. Karena nilai tidak mengatakan siapa diri anak yang sebenarnya dan tidak ada hubungannya antara nilai dengan harga diri anak.

Untuk itu dalam rangka mencairkan, mengurangi beban psikologis dan menjaga suasana kenyamanan kelas dalam pelaksanaan PAS, SDN 2 Pengadilan di hari pertama setelah PAS kita curhat barjamaah. Curhat tersebut ada pertanyaan, pernyataan, keinginan dan lain sebagainya. Alhasil curhat berjamaah berjalan dengan lancar dan munculnya antusiasme serta gagasan-gagasan baru dari seluruh siswa tentang program-program kelas yang akan dijalankan di pertemuan selanjutnya. Termasuk mengkomunikasikan nilai kepada siswa dan meminta pendapatnya langsung.

Hari kedua, setelah selesai mengerjakaan soal-soal PAS kami menyatukan diri berbaur dalam kegembiraan bersama keluarga besar kelas VI SDN 2 Pengadilan yang berjuluk kelas VI Famous untuk Swafoto ceria sebagai usaha untuk tetap menjaga suasana kelas tetap nyaman dan menyenangkan dalam kegembiraan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *