Tiga Guru Pembuka Jalan Pikir Pendidikan yang Membahagiakan

Oleh: Vudu Abdul Rahman (Pendiri Laboratorium Kreatif Mata Rumpaka) 

Api telah dinyalakan, palu-palu terus bekerja, dan selama berhari-hari dan bermalam-malam kerja keras di tengah-tengah debu keriuhan, dibuatlah alat musik. Itu pun dari cerita yang ditulis Rabindranath Tagore. Saya mulai bertanya, apakah semesta semakin gaduh? Padahal, bunyi-bunyi lain di luar galaksi sana, masih belum sampai pada labirin telinga manusia. Sedang, saya tidak bisa menghentikan rasa ingin tahu tentang cerita penciptaan alam semesta. Saya belajar tiada henti siang dan malam. Namun, saya belum menemukan apa-apa. Dan, saya tidak akan pernah menyatakan jeda untuk mengenali semesta, seutuhnya.

Read More

Gabriel García Márquez memberitahu bahwa pusat semesta adalah dirimu. Namun, ia tidak memberitahu di mana titik tepatnya, lalu saya berpikir sejenak, terdiam beberapa saat. Ketika saya batuk, teringat sesuatu. Bukankah ketika saya berpikir adalah titik awal yang menggerakkan akal, rasa, dan raga? Ternyata, titik itu adalah pikiran yang hanya dapat diakhiri dengan kematian.

Menurut A. Chaedar Alwasilah bahwa berfilsafat adalah berpikir abstrak, dan hasil pikiran itu menjadi cahaya penerang bagi manusia dalam melakoni kehidupan. Kehidupan seseorang adalah rentetan pengambilan keputusan, dan keputusan itu sangat ditentukan oleh filsafatnya (dalam Hamied dan Kurniawan, 2017, hlm. 2).

Saya berpendapat bahwa belajar paling menyenangkan itu ketika berada di lingkaran orang-orang yang berjiwa tenang. Mereka yang dapat mengarahkan rasa ingin tahu pada jawaban-jawaban baru. Begitulah seorang guru yang tidak sekadar menceramahi, melainkan jembatan bagi murid-muridnya sebagai penghubung menuju ceruk pengetahuan. Guru-guru tersebut biasanya memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Kemanusiaan belum tentu berada di dalam rumah, kelas, pasar, atau tempat umum lain. Ia, kemanusiaan, akan selalu hadir dalam cinta. Sepanjang cinta hadir, kemanusiaan akan menyertai saat itu juga.

Termasuk tiga sosok guru yang saya kagumi dalam memengaruhi rasa dan pikir, yaitu Rabindranath Tagore, Ki Hadjar Dewantara, dan Sosaku Kobayashi. Mereka bertiga merupakan tokoh berpengaruh yang menurut saya, berhasil menuntun bangsanya ke jalan terang melalui pendidikan pada zamannya.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir 2 Mei 1889. Ia bersama Sutatmo Surjokusumo, Pronowidigdo, Sujoputro, dan lain-lain, mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Soewardi Soerjaningrat tumbuh dari keturunan darah biru (keraton), cucu dari Sri Paku Alam III. Ia mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara yang bertujuan lebih merakyat. Gagasan Taman Siswa muncul setelah kepulangan dirinya dari pengasingan di Belanda. Ia mengagas bersama teman-temannya dalam Sarasehan Malem Slasa Kliwon. Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara terilhami Rabindranath Tagore yang mendirikan Santiniketan, sekolah alam yang damai, di India. Taman Siswa bukan sekadar sekolah yang memanusiawikan bagi pribumi saat itu. Ki Hajar Dewantara merancang revolusi melalui pendidikan agar terbebas dari penjajahan. Ia tumbuh dan berkembang dengan pendidikan pesantren, seni, sastra, dan filsafat. Sehingga, membuat dirinya memiliki jiwa bernas sebagai guru bangsa. Taman Siswa adalah tempat pendidikan yang melawan konsep pendidikan penjajah yang diskriminatif terhadap pribumi.

Maksud pendidikan itu adalah sempurnanya hidup manusia se-hingga memenuhi segala keperluan hidup lahir batin yang kita dapat dari kodrat alam. Pengetahuan, kepandaian janganlah di-anggap maksud dan tujuan, tetapi alat, perkakas, lain tidak. Bunganya, itulah yang harus kita utamakan. Buahnya pendidikan yaitu matangnya jiwa yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci dan manfaat bagi orang lain. Ki Hajar Dewantara

Rabindranath Tagore lahir di Jorasanko, Kalkuta, India, 7 Mei 1861. Ia merupakan keturunan kasta Brahmana. Tagore dikenal sebagai Brahmo Samaj, penyair, musikus, pelukis, dan sastrawan. Ia mendirikan Santiniketan (tempat yang damai), sebuah sekolah dengan konsep pendidikan berbasis budaya lokal sesuai kebutuhan masyarakat. Santiniketan berlawanan dengan sekolah-sekolah yang didirikan penjajah Inggris di India. Sekolah yang didirikan Inggris saat itu, murid-murid belajar di kelas dan duduk di bangku, sedangkan murid-murid Santiniketan duduk melingkar di bawah pohon rindang.

Rabindranath Tagore merupakan seorang penyair, pelukis, pencipta lagu, dan peraih Nobel sastra 1913. Dalam bukunya berjudul Tagore dan Masa Kanak yang diterjemahkan Ayu Utami, ia berpendapat bahwa masa anak yang lepas bebas merupakan awal menuju pribadi yang sehat. Masa kanak-kanaknya dikisahkan dalam 25 cerita pendek yang terpilih. Masa kanak-kanak yang terbuat dari bahan-bahan murni dengan sedikit tambahan. Sebagian besar tersimpan di dalam dirinya, sebagian unsur lain ditentukan oleh lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Proses pembangunan karakter berhenti di titik ini, mereka yang juga menjalani perawatan khusus dan pembentukan ulang di pabrik pendidikan mendapatkan nilai tukar di pasaran merk dagang.

Sosaku Kobayashi mendirikan sekolah Tomoe Gakuen pascabom Hiroshima dan Nagasaki. Kelas-kelasnya dari bekas gerbong kereta masa perang. Tetsuko Kuroyanagi, seorang murid nakal yang dikeluarkan sekolah pemerintah Jepang saat itu, kemudian merasa menemukan sekolah terbaiknya di Tomoe Gakuen. Terutama, ketika Totto Chan, panggilan akrab Tetsuko Kuroyanagi masa kecil, berdiskusi pertama kali dengan sang kepala sekolah, Mr. Kobayashi. Totto Chan berusia kelas satu sekolah dasar saat bercerita panjang lebar kepada sang kepala sekolah. Kobayashi mendengarkan cerita-cerita imajinatif anak kecil itu hingga berjam-jam. Mereka berdua merasa bahagia.

Tomoe adalah simbol kuno berbentuk koma. Untuk sekolah yang didirikan Kobayashi, memilih dua tomoehitam dan putihyang bergabung membentuk lingkaran sempurna. Lambang tersebut menggambarkan cita-cita Kobayashi bagi para muridnya, yaitu tubuh dan pikiran sama-sama berkembang secara seimbang dan dalam keselarasan yang sempurna.

Sebelum mendirikan Tomoe Gakuen, Sosaku Kobayashi, sang kepala sekolah, pergi ke Eropa untuk melihat bagaimana anak-anak didik di luar negeri. Dia mengunjungi banyak sekolah dasar dan bicara dengan beberapa pendidik. Di Paris, dia berkenalan dengan Dalcroze, penggubah musik yang hebat sekaligus pendidik. Dalcroze telah menghabiskan banyak waktu merenungkan bagaimana caranya melatih anak-anak untuk mendengarkan dan merasakan musik di pikiran mereka, bukan hanya menikmati dengan telinga; bagaimana membuat mereka merasakan musik sebagai sesuatu yang bergerak, bukan hanya sesuatu yang tak bernyawa dan membosankan; bagaimana caranya membangkitkan kepekaan anak-anak. Dari sanalah, Kobayashi mengenal konsep Euritmik, semacam pendidikan tentang ritme atau irama khusus yang diciptakan seorang guru musik dan pencipta lagu berkebangsaan Swiss, Emile Jaques Dalcroze yang hasil penelitiannya terkenal sekitar tahun 1904.

Punya mata, tapi tak melihat keindahan; punya telinga, tapi tidak mendengar musik; punya pikiran, tapi tidak memahami kebenaran; punya hati tapi hati itu tak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar. Itulah hal-hal yang harus ditakuti. Sosaku Kobayashi

Pencarian konsep pendidikan terbaik di negeri ini telah dengan bernas dirumuskan Ki Hajar Dewantara. Namun entah kenapa, anak-anak sekolah hari ini kerap langka menemukan jati dirinya. Memang bukan waktu yang tepat untuk mempermasalahkan sistem, bahkan sumber daya manusianya.

Saya bahagia jika orang-orang di sekitar menemukan dirinya. Bukankah itu jalan untuk mengenal Tuhan? Lihat saja Tagore, Dewantara, dan Kobayashi! Mereka adalah cinta sejak rasio, rasa, raga, dan jiwa. Belajar dari mereka, para guru revolusioner yang mengubah bangsanya, yaitu tidak berhenti belajar untuk mengasah diri. Setelah selesai dengan dirinya, lalu mengasah orang lain. Mereka tidak pernah menyerah sekalipun harus sepi dan asing.

Cinta, selain menembus samudera dan benua, ia pun beriringan dengan waktu. Itulah kenapa Tagore, Dewantara, dan Kobayashi, abadi di bumi. Perlu kerelaan dalam menarikembuskan napas pendidikan demi kebaikan bangasa. Karena kebaikan hanyalah untuk kebaikan itu sendiri. Tak ada yang lain.

Daftar Rujukan dan Bahan Bacaan

Gede, R., dkk. (2011). Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.H

akim, A. M. & Susanto, R. (2019). Ensiklopedi Tokoh Dunia: Rabindranath Tagore. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia.

Hamied, A. F., & Kurniawan, E. (2017). Filsafat Ilmu Rujukan bagi Para Cendekiawan. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Kuroyanagi, T. (2008). Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Marquez, G. M. (2009). Bagaimana Aku Menjadi Penulis (An Ismanto, terj.). Yogyakarta: Circa.

Rahardjo, S. (2012). Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 18891959. Jogjakarta: Penerbit Garasi.

Samho, B. (2013). Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi. Yogyakarta: PT Kanisius.

Tagore, R. (2017). Tetanggaku yang Cantik, terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia.

Tagore, R. (2011). Tagore dan Masa Kanaknya, terj. Ayu Utami. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *