Memompa Gairah Para Santri, Menulis

Gemamitra.com

Menawarkan gagasan literasi ke pesantren, seperti mawarkan minuman botol ke pabrik minuman. Pesantren sendiri adalah gudang literatur. Sepanjang hari para santri meminum ilmu dari berbagai sumber mata air literatur yang tersetruktur dan mengakar sedemikian rupa.

Maka tak heran ketika aktivis literasi Asep Tamam merasa “rerempodan” saat memasuki ruang pesantren dengan sebuah gagasan “Menggairahkan Literasi.” Apakah selama ini, pesantren kehilangan gairah? Tentu bukan persoalan gairah membaca semata.

Tak ada kata tidak gairah untuk pesantren menyelami literasi. Namun Asep Tamam bukan lagi menyoal kondisi kegairahan membaca. Sebab bicara literasi dengan sendirinya juga membicarakan kepenulisan.

Menawarkan gagasan menulis kepada para santri itu sebuah loncatan besar. Pemikiran yang terus dipupuk dengan kekuatan ilmu, niscaya akan kian kuat dan kaya pemikirannya. Menjadi modal berharga bagi para santri jika dibekali kemampuan menulis. Tentu kelak akan menjadi para penulis tangguh. Menulis apapun itu, akan sangat ditentukan oleh kekuatan membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik, ucap Sapardi Joko Damono.

Sepeti itulah gagasan awal yang tumbuh dalam benak Asep Tamam, seorang tenaga pengajar di IAI Cipasung, notabene seorang penulis produktif yang tulisannya beredar diberbagai media lokal dan nasional. Puluhan buku telah dilahirkan dari buah tangganya. Merasa terpanggil untuk menularkan kemampuannya kepada para santri.

Dibarengi rekannya para penyair Tasikmalaya, hadir memberikan ceramah kepenulisan di ponpes Sukahideng, Sukarapih, Sukarame, Kab. Tasikmalaya. Pada hari Kamis, tanggal 23 Januari 2020.
Acara dimulai pukul 21.00, dengan dua pembacaan puisi, dibawakan H. Yusran dan Ashmansyah.

Seperti Minggu sebelumnya di Ponpes Nurul Wafa, Gunung Hideung serta di Ponpes Sukamanah acara senantiasa semarak dengan antusiasme para santri memadati ruang pertemuan. Begitupun di pospes Sukahideng audiens begitu gairahnya berdialog perihal dunia tulis-menulis.

Harapan Asep, kedepannya bermunculan para ulama di Tasikmalaya yang bukan saja kuat intelektualitasnya, tapi mahir pula menuliskan apa yang telah ditabungnya selama berilmu di pesantren. Dengan demikian seorang ilmuwan telah melakukan perpanjangan usianya dengan gagasan yang terangkum dalam buku, dan akan terus dikenang dan dibicarakan ratusan, ribuan tahun atau bahkan seumur hidup. Ilmuwan tak pernah menemukan kematian, akan terus hidup dan dibicarakan orang. (Yar).

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *