SEJAK letusan yang dahsyat tahun 1883, Krakatau, yang telah melahirkan Gunung Anak Krakatau, mendapat perhatian yang luar biasa dari para ilmuwan dunia.
Gunung Anak Krakatau terus dipantau dari berbagai belahan bumi dengan berbagai bidang kajian. Krakatau “batuk” sedikit saja, ilmuwan dunia segera menengoknya. Krakatau memang tidak mau tinggal diam. Selalu saja menunjukkan aktivitasnya.
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung T Bachtiar memaparkan kronologi dan prediksinya dalam uraian berikut ini.
Generasi baru, Gunung Anak Krakatau
Setelah beristirahat selama 44 tahun, pada tanggal 27 Desember 1927, dari tengah-tengah kompleks Krakatau sedalam 188 meter di bawah permukaan laut, terjadi letusan bawah laut yang mengejutkan.
Titik pusat letusan segaris dengan kawah awal Danan dan Perbuatan. Krakatau mulai membangun dirinya. Tubuh gunung yang baru muncul dari dasar laut itu sudah hilang dihantam gelombang. Serangkaian letusan telah memperkokoh gunung api yang baru lahir, yang kemudian dinamai Gunung Anak Krakatau.
K Kusumadinata (1979) mengelompokan aktivitas Gunung Anak Krakatau antara tahun 1927-1979. Dilengkapi dengan bahan lainnya, aktivitas Gunung Anak Krakatau tersaji sampai tahun 2000 sebagai berikut:
1927-1930: Antara tanggal 27 Desember 1927 hingga 5 Februari 1930, dari kaldera bawah laut Krakatau telah terjadi pembentukan gunung baru yang kemudian dinamai Gunung Anak Krakatau.
1931-1932: Serangkaian letusan preatik, gas, abu, dan lapili, terjadi kembali mulai akhir September 1931 hingga pertengahan Februari 1932 dari titik pusat letusan kaldera bawah laut utama dan kawah parasitnya.
1932-1934: Hasil letusan vulkanian setelah 9 bulan beristirahat, bahan piroklastiknya mampu membangunan diri hingga mencapai ketinggian + 88,19 meter. Letusan-letusan berlangsung sejak bulan November 1932 hingga awal Juni 1934.
1935-1942: Letusan terjadi dari danau kawah Anak Krakatau. Serangkaian letusan vulkanian dengan material yang diembuskannya berupa abu, pasir, lapili, serta bahan padat vulkanik lainnya, memperlebar Gunung ini ke arah barat.
1943-1945: Periode penjajahan Jepang dan periode revolusi fisik untuk mencapai kemerdekaan, gunung api ini tak ada yang memantau, sehingga tak terdapat catatan perkembangannya secara pasti.
1946-1949: Asap hitam membubung setinggi 400 meter pada tanggal 25 Juli 1946. Kemudian pada awal Januari 1947 terjadi letusan yang berangkai hingga April 1947. Dari titik letusan yang bergeser ke arah baratdaya, pada tanggal 7 Agustus 1947 terjadi lagi letusan.
1950-1952: Awal Juli 1950 terjadi letusan vulkanian, yang disusul pada permulaan Oktober 1952.
1953: De Neve melaporkan terjadinya letusan vulkanian dari titik letusan yang bergeser ke arah baratlaut. Letusan yang terjadi pada akhir September 1953 ini cukup kuat, sehingga danau kawahnya bertambah luas.
1959-1960: Pada bulan Juni-Juli 1959, dari pantai Banten dapat disaksikan asap yang menyerupai bunga kol yang ke luar dari titik letusan di Kompleks Krakatau.
Desember 1959-Januari 1960: rentetan letusan eksplosif terjadi setiap 30 detik sampai 10 menit. Abu halusnya diembuskan angin sejauh 50 km. bahkan ada yang menghujani pantai Banten.
1961-1963: Letusan strombolian yang kadang-kadang disertai aliran lava, diduga terjadi antara permulaan tahun 1960 dan permulaan 1963. Pertengahan Maret 1963, danau kawah yang berbentuk bulan sabit telah lenyap.
1964-1968: Antara Maret 1963 dan September 1968, terjadi letusan preatik, yang mengakibatkan terbentuknya kawah baru.
1972-1973: Pada bulan Juni dan Desember 1972 terjadi letusan dengan semburan bara api. Embusan asapnya mencapai ketinggian 1.600 meter. Januari 1973, terjadi letusan asap seperti bunga kol yang tebal dan kelam setinggi 1.500 meter.
1975: Pada bulan Maret dan Oktober terjadi letusan strombolian. Material pijar menyembur disertai aliran lava.
1978-1979: Antara bulan Juli hingga November 1979 terjadi letusan strombolian. Material pijar menyembur disertai aliran lava.
1980-1981: Pada bulan Maret-Desember 1980 dan bulan April- Juni 1981, terjadi letusan abu, material pijar, disertai aliran lava. Ketinggian Anak Krakatau mencapai +201,5 meter.
1988: Akhir Februari 1988 terjadi letusan abu yang disertai semburan material padat. Asap tebal hitam mengembus setinggi 800 meter, terlihat jelas dari pantai Banten.
1992: Aliran lava dan tefra pijar menyembur setinggi 150 meter diikuti dengan semburan abu setinggi 800 meter, terjadi bulan Oktober 1992.
1993: Aliran lava bulan Mei 1993 menyapu dan membakar hutan pantai. Dua bulan berikutnya, Juli 1993, terjadi lagi letusan. Bom letusan menghancurkan seismometer. Materialnya telah membangun kerucut baru menjadi 300 meter.
1994: Mulai bulan Maret terjadi embusan asap dan letupan tefra. Bulan April, pada malam harinya terlihat indah semburan lava pijar setinggi 200 meter.
Pada 18 Desember terjadi lagi letusan, abu membubung setinggi 3.000 meter, menyebar ke arah timur. Maret 1995 gunung ini meletus kembali dengan menyemburkan abu setinggi 500 meter. Ledakannya terdengar sampai di pantai barat Banten.
Februari 1999 terjadi letusan abu sporadis. Dentumannya menyemburkan bunga asap abu setinggi 1.000 meter. Bulan Maret terjadi lagi letusan dengan abu putih yang mengembang setinggi 300 meter.
Pada tahun 2000 letusan terjadi mulai bulan Mei. Guncangan gempa dengan letusan yang menyemburkan abu setinggi 500 meter. Selama bulan Juni terjadi letusan dengan semburan abu setinggi antara 50-500 meter.
Tahun 2325
“Di Indonesia, sejak tahun 1.000 telah tercatat lebih dari 1.000 letusan gunung api yang memakan korban manusia tidak kurang dari 175.000 jiwa. Letusan Gunung Tambora di Sumbawa pada 1815 dan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883 telah menelan korban manusia sebanyak 126.000 jiwa,” kata JA Katili dalam orasi ilmiah berjudul Bencana Alam dan Peramalan Geofisika di depan sidang terbuka Senat Guru Besar ITB dalam rangka penerimaan mahasiswa baru ITB, 11 Agustus 1979.
Apakah Gunung Anak Krakatau berbahaya? Katili menjawab dengan mengemukakan beberapa teori. Pertama, mengutip pendapat Van Bemmelen tentang bahaya tidaknya Gunung Anak Krakatau. Paroxisma (ledakan hebat) Krakatau disertai dengan bahan-bahan dan rempah-rempah yang masam, yang kadar SiO2 (silikon dioksida) tinggi.
Menurut Van Bemmelen, tidak mungkin terjadi paroxisma atau ledakan yang sangat besar (disertai runtuhnya bangunan gunung api dan banjir laut) akan terjadi sebelum susunan kimia dari bahan erupsi itu berubah dari basa (kadar silikon dioksida, SiO2 rendah) ke asam (kadar SiO2 tinggi).
Katili mengatakan, peledakan Krakatau yang hebat biasanya didahului dengan masa istirahat yang berabad-abad lamanya untuk menghimpun energi baru.
Baru seabad lebih Krakatau meledak dahsyat. Katili berkesimpulan, belum mungkin gunung api itu akan meledak dengan hebatnya seperti tahun 1883.
Sejak 1927 hingga 1979, telah tertimbun 2,35 km3 material yang merupakan volume seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau (yang lahir tahun 1927 dari kaldera Krakatau) jika dihitung secara kasar dari dasar laut.
Hal itu berarti bahwa untuk mencapai volume 18 km3 (volume material letusan tahun 1883), menurut Katili, diperlukan waktu 18 : 2,35 x (1979-1927) = 398 tahun.
Dengan perhitungan tahun 1979, diperkirakan pada 2.325 baru akan mencapai volume 18 km3, bila ciri kegiatan rutin itu tidak berubah.
Letusan dahsyat Krakatau 27 Agustus 1883 diawali dengan letusan sebelumnya yaitu pada Mei tahun yang sama. Tak ada satu gunung api pun yang meletus secara katastropik seketika setelah mulainya suatu letusan.
Antisipasi
Ketepatan peramalan kemungkinan letusan itu dapat ditindaklanjuti dengan penyelamatan atau pengungsian penduduk sehingga korban jiwa dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Hal itu menjadi penting, mengingat jumlah penduduk di sekitar gunung api begitu padat, serta banyaknya aktivitas ekonomi dengan investasi yang besar.
Bercermin pada letusan tahun 1883 yang menyapu wilayah Banten, Tangerang, Jakarta, dan Lampung, yang saat ini daerah-daerah itu jumlah penduduknya sangat padat dengan industri yang maju, maka kemampuan teknik peramalan dan analisis dengan tingkat akurasi yang tinggi sangat diperlukan, sehingga peringatan dini akan terjadinya letusan, tsunami, dapat diberitahukan.
Cara-cara ini dapat mengurangi korban jiwa dan dampak sosial-ekonomi-politik dari suatu letusan gunung api seperti Gunung Anak Krakatau. (PR)***