Oleh : Cevi Whiesa Manunggaling Hurip (Seniman Tasikmalaya)
Sudah ada sejumlah nama yang kian produktif mengisi reklame-reklame raksasa di berbagai penjuru Kota Tasikmalaya. Saling menyodorkan slogan optimisme, narasi pembangunan dan tak lupa foto tersenyum dengan kostum yang meyakinkan untuk seorang pemimpin daerah. Hajat demokrasi lima tahunan ini selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka yang merasa piawai mengotak-atik kebijakan sehingga totalitas dalam menunjukan eksistensinya dalam waktu yang masih dini sudah tidak diragukan lagi.
Menuju dua puluh satu tahun usia Kota Tasikmalaya semestinya beriringan dengan dewasanya cara mendapatkan hati nurani masyarakatnya, tanpa harus berlebihan dalam bernarasi, menawarkan janji atau malah over kritik pada pemerintahan yang berjalan saat ini, karena rasanya masyarakat sudah melek dan sangat tau bagaimana dan seperti apa ke depannya nasib kota seribu bukit ini. Walaupun ilaharnya panggung politik memang demikian, penuh dengan romantisme yang mampu membuai siapa saja.
Mari kita lihat sedikit catatan yang menjadi Pekerjaan Rumah Pemerintah Kota Tasikmalaya ke depan. Dimulai dari persoalan kemiskinan, ada yang beranggapan bahwa Pemerintah Kota Tasikmalaya telah gagal mencapai target dalam menanggulangi kemiskinan, saat ini angka kemiskinan Kota Tasikmalaya berada di angka 12,9%, artinya masih dalam jajaran kota termiskin di Jawa Barat. Sebelumnya, di awal pemerintahan tahun 2017 berada di angka 14,8% dan di tahun ke lima di 2022 ini ditargetkan pada angka 9,8%, di sisa waktu pemerintahan saat ini menjadi sebuah angka yang menunjukkan kegagalan target. Namun pada akhirnya kita juga harus mengakui bersama karena selama dua tahun terakhir terganggu oleh musibah pandemi Covid-19. Mungkin hal itu menjadi faktor utama kegagalan tersebut. Lalu jumlah angka pengangguran yang berada di angka 7,9% atau hampir 8%, padahal penurunan angka pengangguran juga merupakan misi utama Pemerintahan Kota Tasikmalaya saat ini. Tapi jangan lupakan juga faktor kegegalan lainnya, seperti keberpihakan APBD yang lebih mengutamakan infrastruktur daripada penanggulanan kemiskinan dan penurunan pengangguran. Dan jika berbicara perihal infrastruktur, sebetulnya kita melihat sebuah capaian yang luar biasa, terutama pengaspalan jalan yang bisa dikatakan merata sampai ke pinggiran namun tidak sedikit juga bangunan-bangunan mangkrak atau tidak berfungsi di sejumlah titik di Kota Tasikmalaya. Pasar Awipari misalnya, proyek yang sudah lama rampung dan menghabiskan anggaran sebesar tujuh miliyar ini masih belum berfungsi, entah apa alasan tepatnya. Lalu Pasar Nyemplong yang sedari dibangun sampai ruksaknya juga belum pernah difungsikan. Jangan lupakan juga nasib Gedung Tasikmalaya Creative Center di Kompleks Dadaha, sebuah janji politik Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk masyarakat Kota Tasikmalaya yang pembangunannya mangkrak sampai saat ini. Ada juga persoalan mendasar seperti bertambahnya jumlah titik penumpukan sampah yang menambah kesan ‘sareukseuk’, tumpukan sampah di pinggir jalan atau lebihnya kapasitas tempat pembuangan. Ini persoalan yang sering menuai konflik antara perihal kesadaran individu atau salahnya kebijakan tapi rasanya kerja kolektif dalam hal ini akan lebih efektif untuk penyelesaiannya. Lalu bagaimana dengan penataan jantung kota, HZ Mustofa dan Cihideung yang sedang berjalan, akankah mulus banglus tanpa cacat? Mari kita ikuti bersama sekaligus dengan berita penertiban PKL dan area parkirnya.
Dari sedikit catatan di atas, rasanya sudah nampak jelas estafet tanggung jawab Pemerintahan Kota Tasikmalaya yang harus berjalan dengan penuh evaluasi dari sebelumnya, baik untuk siapa yang akan menjadi PLT Wali Kota pun mereka yang menyodorkan diri pada Pemilu 2024 mendatang. Artinya, sikap realistis harus ditunjukkan tanpa harus mengutamakan citra secara berlebihan. Karakter pemimpin adalah cerminan bagi masyarakatnya, maka siapa yang dapat tempat harus memulai dengan pendewasaan. Sikap ‘cacag nangkaeun’ dalam pembangunan Kota Tasikmalaya harus dihentikan. Terutama pembangunan wajah kota, jangan sampai ada lagi gedung yang pada akhirnya mangkrak dan menjadi hunian rumput-rumput liar, tempat seks bebas, mengonsumsi minuman keras atau lahan vandalisme. Jangan ada lagi tugu yang membingungkan atau semacam air mancur taman kota yang kekeringan, pohon kelapa sintetis juga kolam kerlap-kerlip lampu di tengahnya yang airnya meluap ke jalanan. Kota yang konon sedang bergegas menyuguhkan etalase budaya ini harus belajar memantaskan diri dan cerminannya itu ada dalam jiwa pemimpin, masyarakat dan pembangunannya. Hal di atas mungkin bisa menjadi sebuah perenungan panjang dan laku-guna yang nyata bagi mereka, calon pemimpin kota santri ini. Cag!