Oleh: Dien Makmur (Penulis Cilacap)
Sri Mulyani Indrawati, sejatinya bukan sekadar Menteri Keuangan. Ia ibarat Candrasengkala negeri: penanda zaman tentang disiplin fiskal dan kredibilitas yang diakui dunia. Maka keputusan Presiden menggantinya dengan Purbaya Yudhi Sadewa tentu bukan langkah sederhana. Pertimbangan utamanya tampak pada kebutuhan mempercepat program ambisius—sekolah gratis, belanja pertahanan, dan janji populis lain—yang menuntut ruang fiskal lebih lapang. Presiden tampaknya ingin sosok yang lebih sumarah pada kehendak politik, dibanding teknokrat yang kerap menancapkan batas keras angka defisit.
Namun, di balik langkah itu, riak kerisauan tak bisa ditampik. Para analis sudah mengingatkan potensi pelonggaran fiskal dan goyahnya independensi kebijakan. Sri Mulyani selama ini adalah tunggak semi, penopang yang membuat kepercayaan investor tetap berdiri meski badai politik datang silih berganti. Digantinya sosok itu di saat ekonomi rapuh, seperti mencabut tiang saka guru pada sebuah bangunan. Plus dan minus pun berdampingan: plusnya, kebijakan mungkin lebih cepat mengalir, tetapi minusnya, kredibilitas bisa tergerus, baik di dalam maupun di mata dunia.
Hubungan Sri Mulyani dengan Presiden sejatinya cukup harmonis pada awalnya. Ia bahkan pernah disebut sebagai kandidat Menko Ekonomi. Tapi gelagat retak mulai terlihat ketika agenda politik lebih dominan daripada disiplin fiskal. Di titik itulah, harmoni berubah menjadi jarak. Presiden memilih kesetiaan atas angka, loyalitas atas prinsip. Dalam istilah Jawa, ini laksana kembang waru: indah dipandang, tapi mudah gugur ketika angin kepentingan berhembus kencang.
Peristiwa lain menambah getir: dijarahnya rumah seorang menteri sekelas Sri Mulyani. Itu bukan sekadar kriminal, tapi juga simbol—seolah negara gagal hadir menjaga martabat pejabat yang ditunjuk langsung Presiden. Pertanyaan pun lahir: bila seorang menteri tak mampu dilindungi, bagaimana dengan rakyat jelata? Dari sini, publik melihat tanda-tanda Sasmita Bawana: pesan halus bahwa negara sedang goyah menimbang antara martabat, kepentingan, dan arah sejarahnya sendiri.***