Oleh : Algiyasa Gilmana Mutaqin, Kelahiran Garut, 6 Februari 2000, Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Program Studi Teknologi Pangan
Beras (Oryza sativa) merupakan salah satu makanan pokok bagi sebagian penduduk di dunia terutama di Asia khususnya di Indonesia yang menjadikan beras sebagai sumber protein nabati utama. Sebelum beras dikonsumsi, terlebih dahulu harus melewati proses penggilingan yang bertujuan untuk menghilangkan sekam dan lapisan bekatul dari beras untuk menghasilkan kernel berwarna putih (beras) yang dapat dikonsumsi. Proses penggilingan padi akan menghasilkan 70% beras (endosperma) sebagai produk utama dan produk sampingan yang terdiri dari 20% kulit, 8% bekatul, dan 2% kuman.
Bekatul merupakan produk samping pada proses penggilingan padi yang kaya akan nutrisi. Bekatul terdiri atas pericarp, lapisan aleurone, lapisan benih dan nucellus. Bekatul mentah memiliki karakteristik rasa hambar, sedikit pahit, serta berwarna coklat muda atau coklat kekuningan, tergantung pada varietas dan kondisi pengolahannya. Bekatul mengandung berbagai nutrisi yang cukup baik seperti lemak (20–29%), protein (10–15%), karbohidrat (20–27%), serat, mineral dan kandungan senyawa bioaktif.
Bekatul merupakan sumber bioaktif fitokimia yang baik seperti γ-oryzanol, tokoferol, tokotrienol, polipenol, vitamin E, dan karotenoid yang memiliki sifat aktivitas antioksidan dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh seperti efek antibakteri, aktivitas antibiotik, aktivitas antiaalergik, efek antikarsinogenik, efek antikolesterol, dan aktivitas antidiabetes. ɣ-oryzanol merupakan kandungan antioksidan utama pada bekatul yang terdiri dari campuran ester asam ferulat dan fitosterol, hal tersebut dikarenakan ɣ-oryzanol tidak dapat ditemukan pada sumber pangan lain tetapi hanya pada bekatul padi. Kandungan antioksidan pada bekatul dinilai berperan dalam mengurangi penyakit kronis.
Olahan bekatul yang dihilangkan lemaknya berpotensi dimanfaatkan dalam industri, terutama pada pengembangan produk pangan seperti roti. Selain itu banyak penelitian mengenai pemanfaatan bekatul sebagai suplemen berbagai matriks pangan dan untuk meningkatkan nutrisi produk seperti pizza, minuman, minyak tuna, susu bubuk, yogurt dan daging giling. Hal tersebut menjadikan bekatul berpotensi sebagai alternatif bahan pangan yang potensial untuk dikembangkan.
Selama ini bekatul diketahui sebagai produk hasil samping dari proses penggilingan padi yang bernilai rendah dan kurang termanfaatkan karena sebagian besar produksi bekatul di dunia hanya dimanfaatakan sebagai pakan ternak dan unggas. Selain itu, sifatnya yang mudah mengalami kerusakan sehingga membatasi pemanfaatannya sebagai bentuk olahan pangan. Hal tersebut disebabkan oleh proses hidrolitik enzimatik dan ketengikan oksidatif selama penyimpanan yang mengakibatkan peningkatan keasaman bekatul serta bau dan rasa yang tidak enak. Kerusakan oksidatif disebabkan oleh oksidasi ikatan rangkap asam lemak, sedangkan kerusakan hidrolitik disebabkan oleh hidorilisis trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas.
Pemanfaatan potensi bekatul sebagai bahan pangan terkendala akibat mudah mengalami kerusakan pasca penggilingan yaitu timbulnya bau tengik dan rasa pahit. Proses yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada bekatul adalah melalui proses stabilisasi. Stabilisasi ditujukan untuk penghancuran atau penghambatan enzim lipase penyebab terjadinya reaksi hidrolisis yang mengakibatkan pembentukan asam lemak bebas (FFA), tanpa merusak nutrisi yang terkandung pada bekatul. Hal ini perlu dilakukan untuk menunda terjadinya kerusakan bekatul padi, meningkatkan kinerja penyimpanan serta mempertahankan kualitasnya.
Perlakuan panas adalah metode paling umum pada proses stabilisasi bekatul. Sifat enzim dapat dirusak pada suhu tinggi tanpa merusak nilai gizi bekatul. Salah satu perlakuan panas yang dapat digunakan pada proses stabilisasi bekatul adalah dengan menggunakan autoklaf. Autoklaf adalah salah satu cara paling efektif untuk menonaktifkan lipase yang terdapat pada bekatul. Stabilisasi bekatul menggunakan autoklaf pada suhu 120oC selama 20 menit terbukti lebih efektif dalam menstabilkan bekatul untuk penyimpanan jangka panjang dengan masih mempertahankan kandungan nutrisinya dibandingkan dengan menggunakan hot air oven.
Ketersediaan sumber energi di suatu daerah khususnya pedesaan menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya pemanfaatan bekatul, terutama pada proses stabilisasi bekatul supaya tidak mengalami kerusakan. Energi merupakan kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh masyarakat pedesaan seperti kebutuhan akan energi listrik untuk menunjang aktivitas sehari-hari, tetapi tidak semua daerah pedesaan mendapatkan akses terhadap energi listrik yang stabil dan memadai. Seperti proses stabilisasi bekatul menggunakan autoklaf menemukan kendala sumber energi karena autoklaf yang tersedia di pasaran saat ini sumber energinya menggunakan energi listrik. Sumber energi terbarukan menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan energi bagi masyarakat pedesaan salah satunya dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia seperti biofuel.
Pemanfaatan biomassa limbah pertanian sebagai bahan sumber energi biofuel dalam mengoperasikan alat autoklaf juga ikut membantu dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pembakaran biomassa baru tidak memberikan kontribusi karbon dioksida baru ke atmosfer, sebab penanaman kembali biomassa yang dipanen memastikan bahwa CO2 diserap serta dikembalikan buat siklus pertumbuhan baru. Limbah yang seharusnya dibuang dan tidak terpakai lagi menjadi termanfaatkan dengan adanya alat stabilisasi bekatul menggunakan autoklaf yang memanfaatkan biofeul sebagai sumber energinya.***