Dibatas Ingatanku

Oleh : Aan Yuli Susanti, S. Pd.

Dia berteriak “ga usah kamu datang  lagi!” membentakku dengan keras membanting pintu mobil lalu dia berjalan dengan cepat dan berlalu dengan motornya. Lalu aku membuka mataku yang pertama aku lihat jam dinding yang tepat didepanku, 02.45 dini hari. Suara yang aku dengar hujan sangat lebat aku memakai selimut yang tebal dan kaos kaki tapi keningku berkeringat rambut depanku sedikit basah karena keringat.

“Minumlah, aku melihatmu sampai ga bisa tidur.“ Begitulah yang selalu Ia lakukan. Setiap malam. Tidurnya kurang hanya untuk membuatku terjaga setiap malam. Dan di jam yang sama pula dia memberikanku segelas air putih. Aku memeluknya memejamkan mataku lalu aku buka aku usap rambutnya yang putih.

“Aku sudah tidak bisa lagi melihat rambutmu yang hitam, seperti dulu, rapi belah pinggir” kataku kepada laki laki tua yang menemaniku 25  tahun di tempat tidur ini, atau lebih atau… entahlah tidak begitu banyak yang aku ingat.
“Maafkan aku“ dua kata yang sering aku dengar dari mulut lelaki tua itu.

“Ini adalah tempat yang kamu mau dari dulu. Sering kupingku sakit mendengar seribu kali kamu bilang ingin tinggal di tempat ini,“  Aku tersenyum. Setiap pagi dia selalu mengulangi cerita yang sama. Dan setiap hari pula tak satupun yang kuingat selain mendengarkan cerita yang sama namun aku tak pernah hafal jika diulang lagi sendiri dengan memoryku.

“Yang aku ingat hanya wajahmu” menatapnya sambil tersenyum. “Ayo ceritakan lagi.” Aku dengan tidak sabarnya.
“Kamu dan aku hanya sepasang yang dipertemukan dalam situasi yang tidak tepat. Namun rasa bersalahku takkan mampu menghapus semua mimpi burukmu karena aku.“

“Aku menatapmu waktu itu berharap melihatku kembali. Tapi beberapa kali kita dipertemukan tak pernah sedikitpun kamu melihatku. Sampai pada akhirnya aku bersumpah pada diriku sendiri kamu harus aku dapatkan. Seumur hidup kamu hanya ada aku, di hidup kamu hanya ada aku. Banyak yang kamu lewati karena aku, karir mu hidupmu bersama keluargamu anak-anakmu, tapi kamu bertahan dengan segala sifat kasarku. Membesarkan anak kita sendiri tanpa bantuan dari aku. Kamu tetap bertahan kadang lari sejenak untuk menangis sendiri lalu kembali lagi mengahadapiku dengan sejuta senyuman diwajahmu hanya untuk aku, si lelaki keras kepala ini. Tuhan memang punya rencana selalu punya rencana. Aku diberi kesempatan memilikimu.” Dia bercerita dengan berkaca-kaca.

“Ini bukan cerita yang biasa aku dengar” kataku.
“Siapa yang sedang kamu ceritakan?” tanyaku penuh penasaran.
Dia berdiri dan mendorong kursi rodaku mengajakku berkeliling rumah. Rumah yang tidak besar, dinding kayu, sekitar rumah kebun. “Kamu suka dengan rumah dengan bangunan seperti zaman dulu  kayak gini, rumah panggung tapi aku buatin permanen bawahnya biar kursi roda bisa masuk rumah, Ini rumah yang kamu mau. Kita sering sekali membahas soal ini impian kamu yang ingin berkebun di sini,“ ujarnya.
“Ceritakan dari awal” pintaku.

Sebelum kamu sakit kamu masih bertugas sebagai kepala sekolah, Di usiamu yang hampir memasuki masa pensiun kamu menjabat sebagai kepala sekolah walau banyak teman-teman seangkatan kamu udah jadi pejabat tapi kamu memilih akhir dari karir kamu sebagai kepala sekolah, 2 tahun sebelum kamu pensiun kamu sering sakit-sakitan. Namanya juga penyakit tua, bisa dibilang pikun sampai setelah pensiun kamu mulai lupa, banyak lupa, awalnya lupa nyimpen barang, lupa tempat kerja kamu dimana, lupa jalan pulang, sampai sempat tidak bisa mengingat Liona, putri kita. Apalagi tidak begitu banyak lagi orang-orang yang kamu ingat sekarang. Sampai di pagi hari kamu sudah tidak bisa menggerakkan lagi kakimu. Sejenak aku melihatnya menarik nafas sangat panjang, menatap pepohonan didepan kita lalu kembali melihatku.

“Dan setiap hari kamu menjadi seseorang yang baru lupa sakitmu, yang selalu kamu cari adalah aku, yang kamu  inginkan adalah mendengar cerita dari aku.“ jelasnya sambil tersenyum.

“Aku ga pernah lupa sama wajah ini. Tapi setiap malam aku dihantui mimpi buruk tentang kamu. wajah ini membentakku dengan sangat marah.”  Dengan menatap terus bagian wajahnya yang sangat aku sukai kakek tua yang sudah keriput namun tak pernah lepas dia dari ingatanku.

“Aku orang yang paling …….” Dia menundukan wajahnya.
“Sejak aku tau jalan cerita ini berakhir sama kamu, kamu ternyata ditakdirkan denganku, aku hanya ingin menebus semua kesalahanku. Aku tidak akan berkata kasar lagi seperti dulu.” Ucapanyna padaku membuatku semakin bingung.

“ Karena kamu terbiasa nyetir sendiri kalau keluar kota, aku pernah ajakin kamu traveling pake motor, Pelukan kamu dimotor bukan pelukan mesra tapi takut. Dan ga ada romantis – romantisnya, kamu selalu bertanya sepanjang jalan , Ini masih lama ga? aku ga kuat pegel banget… dan aku lebih sering tidak menjawab dan semakin menarik gas ku dengan kencang, aku lihat di spion motorku mata kamu merem ketakutan. “ Aku pun tertawa mendengar ceritanya.

“Kamu dibuat tambah kesal karena rantai motor aku waktu itu putus, padahal perjalanan kita masih jauh. Kita berhenti di jalan yang memang jauh dari pemukiman warga.“ dia  tertawa puas, dan sungguh aku sama sekali tidak mengingat kejadian itu

“Kita kalau makan ga pernah sendiri-sendiri selalu berdua mau nasi padang mau nasi rames. Kalau kamu ada waktu luang kamu sering ke tempat kerjaku cuman bawa nasi TO dan kita makan berdua dimobil atau baso favorit aku, makan berdua cuman dipisah yang sebelah pedes yang sebelah lagi enggak, karena kamu ga suka makan pedes.“
“Kamu itu pendengar yang baik selalu ada saat aku butuhkan, kamu mendengarkan, kadang juga pelampiasan marah aku kalau lagi ada masalah dikerjaan.“ lalu seperti biasa dia mengeluarkan handphone nya dia memutar sebuah lagu “Aku dan dirimu”

“Ini aku dan kamu yang nyanyi, Kita berdua sama-sama suka nyanyi dan sempet aku ngerekam ini dulu.” Aku tersenyum sangat bahagia entah kenapa setiap dia bercerita. Aku seperti memang pernah mengalami hal itu walau aku tak pernah ingat setiap kejadian dan jalan cerita yang aku jalani bersamanya.

Lalu dia melanjutkan lagi ceritanya. “Kamu sempat marah besar dan sampai tidak mau menyapaku, waktu itu hampir 2 bulan kita tidak bertemu, dan kita berdua harus menghadiri rapat di tempat yang sama. Kita berpapasan di pintu masuk kamu menghindar tapi aku maju mengikuti langkahmu, memegang tanganmu, Kamu sama sekali tidak ingin melihatku sampai tangan yang aku raih kamu lepaskan dengan keras dan aku sekuat tenaga mencoba semakin erat mengenggam sampai kamu bilang “Lepasin tangan aku sakit”. Karena aku gak mau  lukai kamu aku lepasin.
“Kenapa aku bisa semarah itu?” tanyaku
Lalu dia menajawab menunduk tersenyum “karena aku selingkuh lagi”
“lagi?” tanyaku dengan nada meninggi.
Iya, dan selalu ketauan. Tapi walau kamu marah semarah itu kamu selalu kembali, kembali memaafkan.“ Dia kembali membawaku kedalam rumah karena memang cuaca sudah mendung dan aku harus minum obat. Dia lelaki yang luar biasa menjagaku menemaniku mengurusku.

“Kamu tidur ya, istirahat. Besok kita ngobrol lagi.” Bicaranya yang lembut sungguh aku seperti jatuh cinta lagi di usiaku  yang sudah senja.
“Iya aku tau, kamu selalu bilang, aku selalu jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama,” ucapnya sambil menatapku seolah dia sangat tahu apa yang ada dipikiranku dan apa yang aku rasakan.

“Kamu tidur dan aku akan rebahan di sebelahmu, kepalaku sedikit pusing” keluhnya.
“Kamu memang selalu kurang tidur” kataku.
“Aku hanya ingin melihatmu tidur nyenyak, selagi ada kesempatan aku tidak mau lagi ninggalin kamu” jelasnya.
Aku melihatnya masih berbicara entah apa yang dia ceritakan lagi, aku menggenggam tangannya dengan erat dan menyimpan di dadaku.

“Bu…bu…” aku terbangun, aku melihat liona dan anak kecil siapa ya… ah yang jelas dia cucuku dan liona anak perempuanku.
“Kenapa kamu menangis?” Liona memelukku aku masih merasa pusing karena obat yang aku minum selalu mebuat tidurku nyenyak dan tenang. Aku baru sadar lelaki tua itu tadi tidur bersamaku di sini. Aku melepaskan pelukan anakku. Aku memaksa kakiku untuk turun dari tempat tidur dan meraih kursi rodaku disamping. Lagi lagi anak perempuan ini memelukku. Dan aku mulai kesal. Aku membentaknya untuk segera mambantuku duduk di kursi rodaku.
“Bu…” dia merapikan rambutku dan memegang kedua pipiku yang aku dengar dia berkata “bu,… bapak sudah pergi, ibu ikhlas ya, aku yang akan jagain ibu gantiin bapak”.

Aku mulai lemas, jantungku seperti dipukul sangat keras sampai bersuara gendang yang keras. Aku tidak pernah merasa benar-benar kehilangan dia dari dulu, Aku selalu merasa kalau dia selalu ada di sampingku dipelupuk mataku. Tak ada yang bisa aku lihat selainnya. Aku tak dapat lagi menangisi apapun kecuali berusaha keras mengingat-ingat lagi kenangan yang pernah aku lalui bersamanya dulu.

Sekarang bukan lagi suaranya yang aku dengar setiap hari tapi tulisannya yang selalu aku baca setiap saat bahkan semalaman kalau aku sangat merindukannya aku baca tulisannya. Tulisan yang dia bilang adalah perjalanan dari awal mengenalku dulu sampai ketakutannya meninggalkanku sendiri.

Waktu tidak akan menghapus segala kesalahanku sama kamu, atau menggantikan lukamu dulu dengan menemani sakitmu selama ini. Bahkan kesibukanku dengan pekerjaanku, ambisiku untuk mengejar karirku sampai aku hampir lupa punya kamu yang menunguku pulang. Maafkan atas waktu yang tidak pernah aku gunakan dengan baik sama kamu.

Kamu selalu salah berpikir tentangku, seolah aku ini laki-laki yang tak punya hati sama sekali. Tuhan memberikanku kesempatan untuk menjawab semua pertanyaanmu selama ini yang sering kamu tanyakan selama 30 tahun bersamaku. Tulisan ini kamu baca karena aku tak dapat lagi bercerita dan menemanimu setiap pagi, menjaga mu setiap malam. Kini akan aku ceritakan dari awal secara detail semua momen perjalanan kita sampai pada akhirnya kamu menanti kembali bertemu denganku. Dan pertemuan kita selanjutnya dibumbui dengan tawa saat kamu kembali mengingat lagi semua kenangan, tawa, tangis, luka.
Aku tidak pernah merasa berhenti mencintaimu, wanita terakhirku.


Hidup Ini Indah
Dewa 19
Matahari menyinari seisi bumi
Seperti engkau menyinari
Roh di dalam jasadku ini
Selamanya seperti hujan
Kau bashi jiwa yang kering
Hidup ini indah
Bila ‘ku selalu
Ada di sisimu setiap waktu
Hingga hembuskan napas
Yang terakhir
Dan kita pun bertemu
Kau bagai udara yang kuhirup
Di setiap masa
Engkaulah darah yang mengalir
Dalam nadiku
Maafkanlah selalu salahku
Kerna kau memang pemaaf
Dan aku hanya manusia
Hanya kau dan aku
Dalam awal dan akhir

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments