Oleh: A. Heru Sujud (Pengurus Cabang PGRI Bungursari)
Perhelatan pemilihan Ketua PGRI Kota Tasikmalaya yang akan segera digelar terasa sangat istimewa tahun ini. Suasana menjelang pemilihan tampak lebih hangat dan dinamis dibandingkan sebelumnya. Di balik itu semua, terselip euforia luar biasa yang dirasakan oleh para insan pendidikan di Kota Tasikmalaya.
Sebagai organisasi profesi yang besar dan bersejarah, PGRI menjadi tumpuan harapan bagi para guru untuk memperjuangkan hak-haknya. Wajar jika pemilihan ketua menjadi perhatian serius banyak pihak.
Para bakal calon ketua telah mulai bermunculan dan kini telah mengerucut ke beberapa nama. Hal ini merupakan pertanda positif bahwa masih banyak sosok yang peduli dan bersedia berjuang bersama organisasi ini. Para calon yang muncul bukanlah orang sembarangan—mereka adalah tokoh-tokoh pendidikan yang telah berkiprah lama dan memiliki latar belakang yang kuat di dunia pendidikan.
Siapakah yang Layak Menjadi Ketua?
Pertanyaan tentang siapa yang paling layak menahkodai PGRI tentu akan muncul. Namun, bagi saya pribadi, tidak mudah menunjuk siapa yang paling pantas, karena pada dasarnya semua calon memiliki kelebihan dan layak. Namun demikian, jika saya diminta menyampaikan kriteria ketua PGRI yang ideal, maka berikut beberapa hal yang menurut saya penting:
Pertama, kita harus menyadari bahwa PGRI adalah milik semua guru, bukan hanya milik golongan atau kelompok tertentu. Setiap guru dari jenjang manapun, baik PAUD, SD, SMP, SMA, guru kelas, guru mata pelajaran, guru bidang keahlian, maupun tenaga kependidikan, semuanya berhak mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari PGRI.
Kedua, tidak relevan mempermasalahkan apakah ketua terpilih masih aktif mengajar atau tidak. Selama Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) memperbolehkan, maka tidak ada regulasi yang dilanggar. Yang lebih penting adalah kualitas dan integritas pemimpin itu sendiri.
Berikut adalah beberapa kriteria ketua ideal menurut saya:
1. Mau Berjuang
PGRI adalah organisasi perjuangan. Maka, pemimpinnya haruslah sosok yang memiliki semangat dan jiwa perjuangan tinggi. Ia harus mampu mengabdikan diri sepenuhnya untuk kepentingan para guru, bukan hanya sekadar tampil saat momen-momen seremonial. Semangatnya harus telah terbukti melalui rekam jejak panjang, bukan muncul sesaat karena ambisi pribadi.
2. Hadir untuk Semua
PGRI bukan milik segelintir orang atau kelompok, tapi milik semua guru. Ketua terpilih harus mampu menjadi representasi seluruh anggota—tanpa membeda-bedakan latar belakang, jenjang, maupun status kepegawaiannya. Ia harus menjadi jembatan antara guru dan hak-haknya, serta siap menampung, mendengar, dan memperjuangkan setiap keluhan anggotanya.
3. Berani
Memimpin organisasi sebesar PGRI memerlukan keberanian. Ketua harus memiliki mental pejuang, bukan mental ‘tempe’ yang mudah ciut ketika menghadapi tekanan. Ia harus siap berdiri di depan, menghadapi berbagai tantangan dan hambatan dalam memperjuangkan hak guru, hingga tuntas.
Kriteria di atas tentu bukan satu-satunya. Namun, ketiganya cukup menjadi pondasi dasar yang penting bagi seorang pemimpin PGRI. Baik masih aktif mengajar maupun tidak, selama memiliki jiwa perjuangan, keberanian, dan keberpihakan yang tulus terhadap guru, maka ia layak memimpin. Sebaliknya, jika motivasinya bukan untuk memperjuangkan guru, melainkan hanya menjadikan PGRI sebagai kendaraan pribadi atau alat pencitraan, maka ia tidak layak menahkodai organisasi sebesar ini.
Saya teringat pesan seorang kolega saya dari PGRI Kecamatan Bungursari yang menyentuh hati:
“HIDUPILAH PGRI, JANGAN HIDUP DARI PGRI.”
Semoga pesta demokrasi pemilihan Ketua PGRI Kota Tasikmalaya dapat berjalan lancar dan melahirkan pemimpin yang benar-benar layak, mampu, dan tulus dalam memperjuangkan hak-hak anggotanya.
HIDUP PGRI! HIDUP GURU!