Remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju remaja yang terjadi pada usia 10-19 tahun. Bukan hanya fisik, pada masa ini terjadi perkembangan psikologi remaja dalam aspek emosional maupun sosial. Mereka mulai mencari jati dirinya. Tidak jarang jika salah penanganan, mereka akan memberontak ketika dinasehati.
Hal ini pulalah yang terjadi pada anak-anak kelas 6 di sekolah saya. Banyak guru yang mengeluh karena anak-anak pada usia tersebut sudah mulai susah diatur. Tiap harinya ada saja perilaku mereka yang dianggap “nakal” sehingga guru merasa kewalahan. Belum lagi ketika mendengar curahan hati beberapa orangtua via WA maupun secara langsung yang mengeluhkan perubahan perilaku anaknya. Lalu sebagai guru apa yang seharusnya kita lakukan.
Perlu kita ketahui bahwa pada masa remaja, mereka akan mencari jati diri mereka dengan lingkungan yang membuat mereka nyaman. Mereka akan mencari orang-orang yang memiliki kesamaan tertentu dengan mereka, seperti hobi, idola, tontonan favorit atau apa saja yang asyik untuk mereka bicarakan Bersama-sama. Maka tidak jarang mereka akan lebih sering berkumpul dengan teman-temannya dibandingkan dengan orangtuanya. Disinilah perlunya kita memahami bahwa untuk mengontrol perilaku remaja adalah kita harus bisa membuat mereka nyaman bersama kita. Kita harus mengetahui hal-hal apa saja yang sekarang sedang banyak disukai oleh mereka. Pemikiran yang kolot dan terlalu mengekang justru hanya akan membuat mereka semakin memberontak.
Saya sendiri mengalaminya di kelas, saya pernah begitu marah dan menghakimi ketika mendapati beberapa anak yang berperilaku menyimpang. Saya ambil contoh, ketika anak-anak kedapatan merokok di saat jam istirahat. Ketika saya meluapkan kemarahan tanpa mendengarkan penjelasan dari mereka, bukannya menurut dengan apa yang saya katakan, mereka semakin memberontak. Hal ini membuat saya memutar otak mencari cara menangani perilaku mereka. Kemudian saya mencoba untuk berbicara dengan mereka, mendengarkan keluh kesah mereka di rumah maupun di sekolah. Awalnya mereka merasa segan karena takut dimarahi. Tapi setelah saya yakinkan bahwa mereka bisa menganggap saya seperti teman, mereka boleh meluapkan apa saja yang mereka rasakan. Mereka boleh menceritakan apa saja yang ingin mereka ceritakan. Dari situlah mereka mulai bersikap terbuka. Banyak hal-hal yang tidak dapat guru ataupun orangtua mengerti dari perubahan sikap mereka. Karena anak-anak merasa harus selalu mendengarkan orangtua, tapi orangtua tidak mau mendengarkan mereka.
Meminjam istilah anak-anak zaman sekarang, anak-anak usia remaja itu butuh “Bestie” yang siap mendengarkan semua keluh kesah mereka. Berbaur dengan hal-hal yang mereka sukai, tetapi tetap mengontrol dengan cara yang tidak mereka sadari. Contohnya ketika saya menyuruh anak-anak tersebut untuk berbaris rapi, itu sulit sekali jika saya menggunakan instruksi baku seperti “Ayo anak-anak, cepat baris yang rapi!” Tapi ketika instruksinya saya ubah “Ayo anak-anak, barisnya jangan terlalu dekat! Nanti nyaman!” Mereka tertawa dan langsung bergegas membentuk barisan yang rapi. Jadi sebagai guru, kita harus menempatkan diri kita sebagai teman yang memahami perasaan mereka sekaligus orangtua yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan mereka.***