Catatan Pendidikan Hari Ini: Ada Apa dengan Kita?

Oleh: Zulfikri Anas

Plt. Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek

Read More

Ada apa dengan kita ini, yang menurut kasatmata kita merasa orang yang sempurna? Namun secara batin, kita ternyata orang yang rapuh, begitu mudahnya mengeluh hanya karena murid kita susah diatur dan tidak menurut pada apa yang kita mau.

“Pusing! Aku melihat perangai anak-anak murid kini. Kita keluarkan saja, demi menyelamatkan anak-anak yang lain,” hanya kalimat itu yang mampu kita ucapkan. Kita sangat merasa “rugi” bertemu dengan murid yang menurut kita murid yang tidak baik.

Padahal, justru kerena mereka belum baik itulah kita ada. Semakin mereka bermasalah, kehadiran kita makin bermakna. Ada apa dengan kita? Apakah kita tidak pernah menyadari bahwa ketika anak-anak sudah pintar, nurut, patuh, tidak lagi membuat kita kesal, itu artinya membuat keberadaan kita menjadi hampa tanpa makna? Kehadiran kita tak ada artinya lagi. Kita tak berguna lagi.

Kita eksis karena mereka perlu dididik. Sebuah kehormatan dari Allah. Sungguh, ada apa dengan kita yang merasa “sempurna” ini? Lalu, kita hanya bisa mengeluh dan menuntut mereka menjadi baik tanpa harus merepotkan kita.

Ada apa dengan kita? Sejatinya, mengeluhkan persoalan akan menuai kekecewaan dan rasa frustrasi. Sebaliknya, ketika kita “mengalahkan” persoalan akan menuai kebahagiaan tak berhingga.

Ada apa dengan kita? Kenapa kita memilih mengeluh untuk mendapatkan kebahagiaan? Menuntut kebahagiaan dengan cara menghindar dari persoalan. Bak pepatah, cara seperti itu sama dengan meminta sisik ke ikan lele. Hal yang mustahil.

Ya, jika ingin memperoleh kebahagiaan sejati, hadapi dan kalahkan persoalan itu. Akar yang halus dan mudah patah justru mendapatkan kebahagiaan sejati ketika ia mampu menembus tanah, batu dan bahkan beton bertulang baja di bangunan tua.

Begitulah hakikatnya kita manusia. Kebahagiaan itu lahir dari upaya kita mengatasi persoalan, bukan dengan cara menghindarinya. Semakin berat persoalan yang hadir dalam kehidupan kita, semakin besar kebahagiaan yang dilahirkannya. Semakin terkuras energi kita untuk mereka, semakin besar keberkahan yang mengalir ke dalam diri kita. Keberkahan itu tak kan berakhir sampai kapan pun.

Ketika kita berolah raga, energi yang terkuras sekaligus mengeluarkan toksin dari tubuh kita melalui pori-pori di sekujur tubuh kita. Karenanya, kita jadi sehat. Itu olah raga fisik, apalagi jika olahraga hati. Mendidik anak-anak yang bermasalah pasti menguras energi, energi yang terkuras itu sekaligus mengeluarkan “toksin-toksin” yang bersarang dalam jiwa kita, bersembunyi dalam batin kita. Karena itulah guru sejati itu sehat lahir dan batin. Semua itu mengikis kesombongan dan keangkuhan. Semua itu menyuburkan keikhlasan dan melipatgandakan kebahagiaan dan keberkahan. Selamanya.

Mengeluarkan anak yang bermasalah dari sekolah adalah bentuk nyata pengakuan kita akan kelumpuhan kita sendiri. Dan kadang kala, kita justru bangga dengan kelumpuhan yang kita bikin itu.

Sampai kapan dunia pendidikan kita menjadikan dirinya bangga akan ketidakberdayaanya? Keputusan mengeluarkan anak justru pada saat mereka butuh pertolongan, adalah lambang keputusasaan kita. Dan sampai kapan dunia pendidikan bangga akan keputusasaan ini?

Ada apa dengan kita? Kehadiran mereka sengaja dikirim Allah ke gurunya untuk menyelamatkan kehidupan guru yang bersangkutan, di dunia dan di akhirat. Kehadiran mereka melipatgandakan keberkahan bagi gurunya. Semoga bermanfaat.

Salam Pendidikan
Antara Padang—Payakumbuh, 29 Des 2022

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *